Yogya, KU
Menjelang pilpres 2009, setidaknya rakyat sudah memiliki figur buat calon pemimpin alternatif. Diharapkan figur alternatif tersebut merupakan seorang calon pemimpin yang visioner, memiliki jiwa leadership yang tinggi untuk bisa mengatasi berbagai persoalan bangsa yang kian begitu komplek.
Hal tersebut disampaikan oleh pakar kebijakan publik UGM Prof Dr Sofian Effendi dalam ‘Orasi Ilmiah Reposisi Otonomi Provinsi dan Kabupaten’, Selasa malam (25/3) di Ruanng Seminar Isipol UGM.
Menurut Sofian, kompleknya berbagai permasalahan bangsa ini terjadi akibat pemborosan biaya penyelenggaraan pemerintahan akibat reformasi tata kepemerintahan yang kebablasan, sehingga sistem kepemerintahan tidak berjalan secara efektif.
“Biaya penyelenggaraan pemerintahan kita sangat mahal sekali, padahal tidak jelas tugasnya dan fungsi dari berbagai lembaga baru tersebut,†kata Sofian.
Selama sepuluh tahun reformasi, jelas Sofian telah terjadi penataan tata kepemerintahan di Indonesia yang mencakup empat bidang diantaranya, penataan kelembagaan negara, desenteralisasi pemerintahan, reformasi keuangan negara dan pemberantasan KKN.
Namun demikian, reformasi tata kepemerintahan yang begitu luas menyebabkan biaya penyelenggaraan kepemerintahan semakin membengkak, sebaliknya pelayanan publik menjadi tidak terbiayai sama sekali.
Di bidang legislatif, sudah ada MPR, DPR dan DPD, di bidang yudikatif sudah ada tiga lembaga tinggi seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Selain itu, di bidang eksekutif sudah ada 35 menteri dan 51 komisi.
“Presiden saja belum bisa menghapal semua komisi tersebut bahkan ada beberapa komisi yang belum sempat bertemu dengan presiden,†imbuh Sofian.
Sofian menjelaskan, penataan tata kepemerintahan yang begitu luas ini menyebabkan efektifitas kepemerintahan kondisinya jauh menjadi lebih buruk bila dibandingkan dengan kepemerintahan di era orde baru.
“Indikator kepemerintahan di tahun 2006 justru mengalami kondisi yang memperihatinkan bahkan jauh lebih buruk, dibuktikan indikator akuntabilitas dan efektifitas pemerintahan, kualitas regulasi, stabilitas politik, penegakan hukum (rule of law) serta kontrol terhadap korupsi justru menurun jika dibanding dengan kondisi pada era tahun 1996,†katanya.
Satu-satunya indikator kepemerintahan yang menjadi lebih baik di era reformasi saat ini kata sofian adalah kebebasan mengeluarkan pendapat atau proses demokratisasi.
Sofian juga sempat menyinggung penyebab tentang ketidakefektifan pemerintahan SBY-JK saat ini, pertama, seringnya SBY membuat kebijakan yang salah akibat Setneg tidak berfungsi dengan baik sebagai tempat proses seleksi pengambilan kebijakan terakhir pemerintah. Kedua, banyaknya menteri yang membidangi bidang-bidang yang tidak sesuai dengan keahliannya akibat bagi-bagi kekuasaan dengan partai politik. Ketiga, selaku dwi tunggal, SBY dan JK selalu dikonfrontasikan oleh orang-orang dekatnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)