Prof. Masaru Mizoguchi dari Universitas Tokyo Jepang mengatakan daerah pedesaan di seluruh dunia tetap menjadi sumber produksi pangan dan lokasi pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik. Namun demikian, banyak desa yang mengalami persoalan akibat bencana dan dampak perubahan iklim. Menurutnya, sudah saatnya para akademisi dan pakar pertanian membantu petani mengatasi persoalan pertanian dengan mengembangkan keahliannya dengan memadukan kearifan lokal dan pengembangan teknologi berbasis Internet of Thing (IoT).
“Banyak masalah yang timbul di pedesaan dari berbagai bencana termasuk krisis iklim. Kami berkesempatan mengajak para petani berdedikasi yang memiliki banyak kearifan tradisional, untuk mengembangkan teknologi pertanian baru yang menggabungkan kearifan dan ICT dan IoT,” kata Mizoguzhi saat menjadi pembicara kunci dalam Konferensi Internasional ke-2 tentang Pertanian Cerdas dan Inovatif (ICoSIA 2021), Rabu (3/11).
Salah satu kegiatan penelitian yang dilakukannya adalah pengembangan pertanian di daerah Fukushima pasca terkena bencana gempa bumi, tsunami dan kecelakaan nuklir. Menurutnya, penelitian yang dilakukan sejak 2011 lalu, banyak yang pesimis dan khawatir soal masih adanya radiasi radioaktif dari dampak ledakan pembangkit listrik tenaga nuklir terhadap tanaman pangan dan lahan pertanian. Namun, anggapan tersebut dapat ia tepis dari penelitiannya dalam pengembangan pertanian dengan menggunakan kearifan lokal petani setempat dengan dukungan teknologi ICT dan IoT.
Salah satu pengembangan teknologi yang ia lakukan adalah melakukan kontrol dari jarak jauh untuk mengetahui kelembaban dan suhu tanah selama proses produksi pertanian. Bahkan, teknologi yang sama digunakan dalam pembuatan kompos. Pembuatan kompos terdiri dari limbah kulit kayu, kotoran ternak sapi dan unggas, serta menggunakan bahan mikroba. “Pada kompos pun dipasang sensor untuk mengukur temperatur dan kelembaban agar hasilnya lebih baik,” kataya.
Efektivitas penggunaan sensor menurutnya bisa mengevaluasi efektivitas pemantauan jarak jauh untuk menghasilkan kompos berkualitas tinggi sehingga tidak lagi mengandalkan pengalaman atau intuisi dari petani semata. Pupuk kompos yang bagus menurutnya harus mengukur perubahan suhu yang berkaitan dengan proses fermentasi dan jumlah kadar air. “Lewat IoT kita bisa mengukur perubahan kadar air kompos, ada hubungan antara peningkatan kadar air dan peningkatan suhu dengan penyiraman,” katanya.
Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh UGM ini, beberapa pemakalah menyampaikan hasil penelitiannya. Salah satu diantaranya adalah Dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Dr. drh. Sarmin. Dalam pemaparannya, ia menyampaikan hasil riset tentang profil hemoglobin dalam status fisiologi kambing Sapera. Seperti diketahui, Sapera merupakan kambing hasil persilangan antara kambing etawa lokal betina dengan Saanen jantan. Kambing ini banyak dibudidayakan sebagai kambing perah di Indonesia. “Sebagai keturunan baru, penting untuk membuat data profil hemoglobin untuk menilai tingkat keparahan anemia. Hemoglobin adalah protein yang fungsi utamanya adalah untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan mengangkut karbondioksida dari jaringan ke paru-paru,” katanya
Dari penelitian ini Sarmin mengatakan bahwa kambing Sapera terindikasi memiliki kandungan oksigen yang lebih tinggi dibandingkan dengan Saanen dan Etawa. Menurutnya, semakin baik status hemoglobin maka akan semakin bagus untuk tingkat produktivitas kambing dan produksi susu. “Sapera memiliki status hemoglobin yang lebih tinggi, hal itu akan memengaruhi produksi susu kambing. Dari status fisiologis, Sapera mampu beradaptasi dengan pakan dan iklim yang ada di Indonesia. Kita harap Sapera banyak diproduksi selain etawa dan sanen,” ujarnya.
Penulis : Gusti Grehenson