Banjir melanda sejumah wilayah di Indonesia saat memasuki bulan November 2021. Mengutip laman Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kamis (4/11) banjir di sejumlah wilayah terjadi karena peningkatan intensitas curah hujan.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah mengeluarkan informasi peringatan dini tentang adanya fenomena La Nina yang melanda wilayah Indonesia sejak Agustus 2021 dan diperkirakan berkembang hingga Februari 2022. Menurut BMKG, fenomena La Nina berdampak pada kenaikan intensitas hujan dan dapat memicu terjadinya bencana hidrometeorologi basah seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor.
Dr. Hatma Suryatmojo, S.Hut.,M.Si, pengamat Hidrologi Hutan dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan ekosistem mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan banjir di Indonesia saat ini yaitu faktor hidrologis dan faktor aktivitas manusia. Faktor hidrologis disebabkan oleh adanya perubahan kondisi hidrologis suatu wilayah akibat perubahan iklim, anomali cuaca seperti hujan dengan intensitas tinggi, badai dan siklon tropis, hujan monsoon, gelombang pasang hingga jebolnya tanggul/dam. Sedangkan faktor aktivitas manusia, akibat adanya kebutuhan manusia untuk melakukan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan.
“Beberapa kegiatan tentu menjadi pemicu, seperti pembukaan lahan hutan, perubahan fungsi lahan, deforestasi, perkembangan urbanisasi dan penyempitan tubuh air (sungai) akibat kebutuhan pemukiman,”ujarnya, di Kampus UGM, Senin (8/11).
Menurutnya, deforestasi turut menyumbang dan menjadi salah satu faktor pemicu kejadian bencana hidrometeorologis seperti banjir dan longsor. Meski begitu, disebutnya, ada banyak faktor fisik alami yang dapat berpotensi menjadi pemicu kejadian bencana hidrometeorologis, seperti faktor topografi dengan kemiringan lereng yang tinggi dan curah hujan ekstrem (biasanya lebih dari 100 mm).
Mengutip data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan luas deforestasi Indonesia pada periode 2019-2020 mengalami penurunan sampai 75 persen, atau sebesar 115,5 ribu hektare, dibandingkan periode 2018-2019 yang mencapai 462,5 ribu hektare.
Angka ini tentu meningkat bila dibandingkan periode 2017-2018 yang mencapai sebesar 439,4 ribu hektare sedangkan pada tahun 2016-2017 angkanya mencapai 480 ribu hektare. Pada periode 2015-2016, menjadi tahun yang memiliki angka deforestasi tertinggi dalam enam tahun terakhir, yaitu sebesar 629,2 ribu hektare.
“Artinya secara total, dalam kurun waktu 6 tahun, angka deforestasi mencapai 2,1 juta hektare. Meski begitu cukup wajar juga bila ada pernyataan laju deforestasi mengalami penurunan, namun kejadian bencana hidrometeorologi masih tinggi. Hal ini mengindikasikan banjir dan tanah longsor bisa dipengaruhi oleh faktor lain, terutama pada perubahan pola penutupan dan pemanfaatan lahan yang mengganggu atau merubah fungsi dari kawasan tersebut,”kata dosen Fakultas Kehutanan itu.
Oleh karena itu, perlu memberikan perhatian secara khusus terhadap perubahan daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang seharusnya memiliki peran penting sebagai fungsi lindung yang dibantu oleh peran hidrologi dari kawasan bervegetasi (hutan). Perubahan Daerah Aliran Sungai yang seharusnya untuk melindungi kawasan di bawahnya, kini banyak dirubah menjadi kawasan produksi seperti untuk pemukiman, budi daya intensif, dan lain-lain. Hal tersebut tentu akan menurunkan fungsi dari kawasan hulu.
Semua individu wajib sadar bahwa manusia tinggal di dalam wilayah DAS. Tidak ada sejengkal tanah pun di daratan bumi yang tidak termasuk dalam wilayah DAS. Karenanya wajib memahami peran manusia sebagai warga DAS dengan melakukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam wilayah DAS sesuai dengan fungsi kawasan dalam DAS.
“Memang sangat perlu mengedukasi seluruh lapisan masyarakat tentang peran penting DAS sebagai sistem penyangga kehidupan yang akan mendukung terwujudnya pembangunan berkelanjutan menjadi hal penting yang perlu dikuatkan dalam seluruh lini pendidikan,” ucapnya.
Mengambil kasus banjir di Batu (4/11), kata Hatma, banjir karena curah hujan tinggi (lebih dari 100 mm) yang berdampak hingga bagian hulu (Daerah Tangkapan Air/ DTA). Akibatnya banjir berdampak meliputi 2 wilayah yaitu Kecamatan Bumiaji meliputi Dusun Beru dan Dusun Sambong Desa Bulukerto dan Desa Sumberbrantas, Kecamatan Batu meliputi Desa Sidomulyo dan Desa Tulungarejo.
Kondisi topografi pada DTA pemasok air banjir didominasi oleh lereng curam ssampai dengan sangat curam di bagian hulu dengan Tipologi DAS membulat. Sementara jarak antara hulu dengan daerah terdampak banjir memerlukan waktu kurang lebih 4 jam sehingga aliran limpasan cukup cepat mencapai daerah terdampak banjir.
“Perubahan tutupan lahan yang masif pada bagian hulu DAS dengan peruntukan lahan pertanian (dominan di luar Kawasan Hutan) menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah menahan (meresapkan) air terutama pada lahan miring dan curam,” terangnya.
Pada wilayah terdampak maka terlihat material yang terbawa berupa patahan kayu hitam seperti bekas terbakar. Hal ini mengindikasikan terdapat bendung alami yang ambrol di lereng Gunung Arjuno, dan bendungan alami tersebut biasa disebabkan oleh adanya kejadian longsor sebelumnya yang kemudian material longsor menutup alur sungai dan membentuk bendungan alami yang labil.
“Akibat akumulasi aliran sungai yang terbendung maka bendungan alami yang labil tersebut jebol dan menyebabkan terjadi banjir bandang,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto: Okezone News