Yogya, KU
Rencana pemerintah untuk meluncurkan piranti lunak (software) pemblokiran akses situs porno disambut baik oleh semua kalangan. Namun demikian, piranti lunak yang akan dibagikan oleh pemerintah belum diketahui secara jelas sistem kerjanya. Apakah menggunakn sistem blokir nama domain situs porno atau pemblokiran filter kata kunci.
Namun demikian, jauh-jauh hari sebelum pemerintah meluncurkan piranti lunak anti situs porno, salah satu mahasiswa MIPA UGM, Ahlul Farezi telah membuat membuat software untuk memblokir situs porno dengan nama ‘Site Blocker’. Pria kelahiran Payakumbuh, 8 Juni 1985 ini bahkan juga sudah berhasil mengembangkan softaware menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya yang hanya mampu memblokir domain situs.
“Jika sebelumnya software temuan saya hanya bisa memblokir situs porno melalui pemblokiran domain-domain situs porno, saat ini software ini sudah say kembangkan mampu memblokir situs porno melalui pemblokiran kata kunci,†jelas Ahlul, Kamis (27/3) di Kampus UGM.
Lebih lanjut Ahlul menambahkan, sistem pemblokiran situs porno buatannya ada dua macam fungsinya, melalui sistem blok domain dan sistem blok filter kata.
“Kalo sistem blok filter kata, maka akan lebih banyak domain situs porno yang akan terblokir, ketika ada kata yang berbau pornografi yang diklik dalam proses pencarian, maka tidak bisa diakses dan terkoneksi,†terangnya.
Menurut Ahlul, software buatannya ini sudah dibuat dalam bentuk instalasi, sehingga mudah diinstall pada setiap komputer. Interface sudah dibuat dalam bahasa indonesia sehingga mudah dipahami. Sangat minimalis, panel-panel pun dibuat sedemikian rupa sehingga tidak sulit dalam penggunaan.
“Dengan menggunakan Site Blocker maka pihak warnet lebih mudah untuk melakukan pengawasan terhadap pengunjung warnetnya selama berselancar di Internet. Hanya dengan satu kali klik kata saja maka secara otomatis Site Blocker akan melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang tersimpan pada database,†kata penerima Anugerah Youth National Science and Technology Award dari Menpora pada 13 Desember 2006 untuk karyanya Software Site Blocker; software untuk memblokir situs porno.
Ahlul yang juga sempat membuat software Anti Brontok, menjelaskan bahwa untuk selalu bisa mengupdate database situs-situs porno maka software “site blocker†dilengkapi dengan update database online. Fasilitas ini tentu saja sangat memudahkan bagi pemakai program ini tanpa harus memonitor perkembangan situs-situs negatif tersebut. Bahkan sistem pemblokiran ini kata Ahlul tidak mempengaruhi kecepatan dalam akses internet.
“Pemblokiran ini tidak mempengaruhi koneksi akses, karena dilewatkan ke sebuah filter, biasanya yang membuat lambat akses tergantung jenis server yang digunakan,†jelasnya.
Saat dimintai tanggapan terkait program pemerintah untuk memblokir situs-situs porno dengan membagi piranti lunak ke usaha warnet, Ahlul tetap meragukan efektifitas kebijakan pemerintah tersebut. Menurutnya pemblokiran situs porno melalui pangaturan provider internet yang ada di Indonesia sangat sulit sekali.
“Jika di China itu hanya ada dua provider, jadi untuk mengaturnya khan enak, kalo di indonesia terlalu banyak provider, sehingga perlu diatur dulu provider, dan juga berapa provider yang perlu dipasang filter,†tambahnya.
Sementara itu dalam kesempatan yang berbeda, praktisi IT UGM Dr Ir Lukito Edi Nugroho menyambut baik upaya pemerintah untuk memblokir akses situs porno yang masuk ke indonesia melalui internet. Namun dirinya masih mempertanyakan seberapa besar efektiftas kebijakan tersebut dalam upaya mencegah maraknya pornografi di lingkungan generasi muda.
“Saya tidak yakin secara seratus persen upaya ini akan berhasil, karena masih ada celah-celah yang nantinya akan dimanfaatkan oleh pengguna internet itu sendiri untuk mencoba melanggar aturan tersebut,†katanya.
Lukito menjelaskan jika situs-situs porno pada umumnya sering mengupdate dan mengubah nama domain situsnya, maka piranti lunak yang akan diluncurkan hendaknya mampu diupdate. Selain itu, program ini akan berhasil jika didukung oleh itikad baik dari pemilik warnet dan pengguna internet. (Humas UGM/Gusti Grehenson)