Meski tidak memberikan hasil, jarak pagar sebagai tanaman anjuran tetap dibiarkan tumbuh. Hal itu untuk menunjukkan bahwa petani dapat diatur dan menjalankan proyek dengan baik, sebab kegagalan bukan karena kesalahan petani sehingga mereka terus dipercaya untuk mendapatkan proyek lainnya.
“Proyek penanaman jarak pagar yang dijalankan melalui mobilisasi telah gagal meningkatkan kesejahteraan hidup petani. Mobilisasi menjadikan petani semakin tergantung dengan selalu mengharapkan proyek berikutnya,” ujar Dr. Gunawan, dosen Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Senin (22/11) saat menjadi narasumber Seminar Nasional Berseri Kajian Antropologi Indonesia Putaran II seri #8 dengan topik seminar Jarak Pager: Tipu Petani Lahan Tandus. Topik tersebut merupakan hasil disertasi Gunawan pada program doktoral Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Persoalan yang diangkat berangkat dari wacana pengembangan jarak pagar sebagai sumber biofuel. Wacana pun semakin meluas hingga menjadi salah satu strategi kebijakan nasional untuk mengatasi krisis energi, kerusakan lingkungan, dan kemiskinan. Penanaman jarak pagar dilakukan di berbagai provinsi, dan kabupaten, salah satunya di Gunungkidul.
Petani di Gunungkidul dimobilisasi oleh pemerintah dan perusahaan untuk menyisipkan jarak pagar di lahan mereka. Padahal, lahan mereka sangatlah terbatas. Di sisi lain, para petani sebelumnya mengenal jarak pagar sebagai tanaman liar, tidak termasuk sebagai tanaman yang diharapkan hasilnya.
“Karenanya studi ini ingin menjawab pertanyaan bagaimana petani menghadapi proyek penanaman jarak pagar itu. Pembahasan diarahkan untuk melihat hubungan-hubungan sosial yang dibangun petani ketika menghadapi proyek jarak pagar,” paparnya.
Untuk melihat hubungan sosial yang dibangun petani saat menghadapi proyek jarak pagar, kata Gunawan, diperlukan studi etnografi untuk menemu-kenali, mengidentifikasi, dan menafsir perilaku, gagasan, dan pandangan para petani dalam seting relasi sosial sehari-hari. Sementara pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengamatan terlibat (participant observation), wawancara mendalam, serta penelusuran kepustakaan.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika proyek jarak pagar berlangsung di Gunungkidul para petani mengalami situasi yang aneh. Mereka harus menanam jarak pagar padahal mereka mengenal jarak pagar sebagai tanaman liar,” jelasnya.
Dalam seminar yang berlangsung secara daring, Gunawan menuturkan dalam situasi aneh itu petani bertindak anut grubyuk. Mereka melakukan sesuatu karena mengikuti yang dilakukan oleh orang lain.
Alih-alih menyelesaikan persoalan kemiskinan, proyek jarak pagar justru menjerumuskan petani pada dimensi krisis lain yaitu hilangnya nalar kritis masyarakat dalam menghadapi persoalan sehari-hari. Ketika sumber daya terbatas, sementara kebutuhan harus terpenuhi maka negosiasi berlangsung dalam bentuk akal-akalan.
“Pengembangan jarak pagar menjadi sekedar proyek untuk mendapatkan keuntungan sesaat. Ketika proyek jarak pagar gagal, mereka tetap ingin menunjukkan bahwa proyek itu berjalan dengan baik agar mendatangkan proyek berikutnya,” urainya.
Secara praktis studi ini menjadi pijakan kritis untuk memikirkan kembali bentuk-bentuk mobilisasi pembangunan dengan melihat transformasi sosial yang berlangsung di arus bawah. Niat dan cita-cita baik dari mobilisasi oleh negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya tidak dengan serta-merta bisa dijalankan dengan baik dan berhasil mencapai pada kemandirian tetapi justru menjerumuskan masyarakat menjadi kecanduan proyek.
Penulis : Agung Nugroho