Hasil survei yang diterbitkan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2018 lalu menunjukkan bahwa pada level sikap/opini, siswa dan mahasiswa Indonesia yang memiliki pandangan keagamaan nan cenderung radikal mencapai angka 58,5%. Menanggapi data tersebut, Guru Besar Psikologi UGM, Prof. Subandi, mengatakan radikalisme tersebut menandakan kurangnya pendidikan spiritualisme di Indonesia.
“Kita lebih memfokuskan pada (pendidikan) agama, tapi kurang memperhatikan faktor spiritualitas (didalamnya),” tutur Prof. Subandi dalam webinar ‘Pemikiran Guru Besar Universitas Gadjah Mada: Menuju Indonesia Maju 2045 Bidang Sosial Humaniora’ yang disiarkan melalui kanal Youtube Universitas Gadjah Mada pada Senin, (22/11).
Prof. Subandi menjelaskan agama dan spiritualitas sebetulnya adalah dua hal yang berbeda, walau memiliki ketersinggungan yang sangat dekat. Dalam kehidupan rohani seseorang, agama adalah bagian luar yang terlihat (eksoteris, lahiriah), sedangkan spiritualitas adalah bagian dalam (esoteris, batiniah). Agama disini dapat berupa praktik peribadatan/ritual, ajaran benar dan salah, dan lain sebagainya. Sedangkan spiritualitas adalah pengalaman subjektif individu terkait kesucian atau pencarian makna keberadaan manusia di dunia. Bagi Prof. Subandi, spiritualitas tersebut lebih tepatnya adalah sebuah kesadaran.
Prof. Subandi mengatakan terdapat empat komponen dari spiritualitas atau kesadaran tersebut, yaitu kesadaran ketuhanan, kesadaran diri, kesadaran kemanusiaan, dan kesadaran alam.
Pertama adalah kesadaran Ketuhanan. Kesadaran ketuhanan adalah pengalaman individu dalam “terhubung” (terkoneksi) dengan Eksistensi Yang Maha (Tuhan), atau bagaimana individu dalam merasakan “kebersamaan” dengan Tuhan. Prof. Subandi menegaskan kesadaran ketuhanan ini menjadi fondasi serta melingkupi semua bentuk kesadaran sehingga terhubung dan terintegrasi.
Kesadaran kedua adalah kesadaran diri. Kesadaran diri disini memiliki arti sebagai keterhubungan manusia dengan eksistensi dirinya sendiri, baik eksistensi terhadap yang ada luar dirinya (kognitif), maupun kesadaran diri yang lebih dalam seperti hakikat dirinya: siapa dan darimana asalnya dan apa tujuan hidupnya.
Ketiga ialah kesadaran kemanusiaan. Kesadaran kemanusiaan tidak lain adalah kesadaran bahwa manusia itu saling terkait antar satu dengan yang lain, dan lalu memiliki aneka ragam agama, budaya, ras suku, etnis, bahkan karakter pribadi yang berbeda. Hal ini kemudian mengacu kepada hakekat manusia sebagai satu keluarga yang harus saling mendukung, saling menolong, serta saling mengasihi.
Terakhir terdapat komponen kesadaran alam. Kesadaran alam adalah kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari kehidupan di alam, baik dengan alam yang tampak di sekitarnya, maupun alam semesta nan luas (kesadaran kosmos).
Pendidikan Spiritualitas Disamping Pendidikan Agama
Prof. Subandi berharap pendidikan spiritual dapat dilakukan sejalan dengan pendidikan agama. Selama ini, pendidikan spiritualitas sering terabaikan sehingga agama hanya menjadi bentuk dogma dan ritual-ritual dalam masyarakat. Prof. Subandi mengandaikan agama tanpa spiritualitas bagaikan sebuah wadah tanpa isi, sebaliknya kalau spiritualitas tanpa agama adalah isi yang tidak ditutupi oleh wadah.
“Karena spiritualitas itu kurang diperhatikan, maka agama cenderung bisa menjadi radikal, (sehingga) ini menjadikan potensi konflik SARA di Indonesia menjadi tinggi…… (pendidikan) spiritualitas bisa menjadi solusi yang bisa (dilakukan),” pungkas Prof. Subandi.
Penulis: Aji