Di dunia kontemporer ini, menggalakkan inovasi tentu sangat diperlukan. Hal itu seperti pada produksi ternak potong di Indonesia, terutama sapi, inovasi tampaknya tidak lagi dapat ditawar untuk dilakukan di kemudian hari. Alumnus Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM yang saat ini menjabat sebagai Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Dirjen PKH Kementrian Pertanian RI, Syamsul Ma’arif, mengatakan jika inovasi tidak digalakkan untuk meningkatkan produksi ternak sapi potong, maka Indonesia tidak akan keluar dari ketergantungan mengimpor baik sapi maupun dagingnya. Hal tersebut dituturkan Syamsul dalam talkshow bertemakan ‘Perkembangan Peternakan di Era 4.0 melalui Tantangan Peradaban’ yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Peternakan UGM pada hari ini, Rabu, (1/12).
Syamsul mengungkapkan kebutuhan daging sapi di Indonesia rata-rata sekitar 669 ribu ton setiap tahunnya. Akan tetapi, produksi ternak potong daging sapi dalam negeri nyatanya hanya bisa menyiapkan sekitar 430 ribu ton saja setiap tahun. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tersebut, Indonesia kemudian terpaksa melakukan pemenuhan dengan melakukan impor, baik dalam bentuk hewan sapi-nya maupun dagingnya.
Oleh karena itu, inovasi mau tidak mau harus benar-benar digalakkan untuk meningkatkan produksi ternak sapi potong tersebut. Syamsul melihat kebanyakan peternak sapi di Indonesia masih menggunakan cara konvensional atau tradisional. Seperti halnya dalam pola pikir produksi ternak. Syamsul melihat para peternak sapi masih berpikir beternak sapi itu hanya sebagai tabungan sehingga tidak ada upaya peningkatan produksi, serta penyembelihannya mesti menunggu momentum tertentu terlebih dahulu, seperti Hari Raya Kurban dan lain sebagainya.
“Kalau kita terus begini ya kita bakal kebanjiran impor terus ini,” tutur Syamsul.
Sejalan dengan itu, Syamsul mengajak para peternak millenial untuk kemudian meninggalkan cara-cara konvensional atau tradisonal tersebut. Para peternak millenial diharapkan dapat menciptakan cara-cara yang lebih efektif dan efisien dibanding sebelumnya untuk meningkatkan produksi dan tentunya kualitas hasil produksi.
“Kalau kita masih tradisional, maka kita akan tergerus oleh produk-produk yang datang oleh luar (negeri) yang masuk ke Indonesia. Kalau Anda tidak efesien dan efektif, jangan sesali produk-produk yang ada di luar Indonesia itu akan masuk dan ‘banjir’ di Indonesia. Kenapa? Jumlah penduduk kita itu ada (sekitar) 272 juta jiwa. Itu sasaran empuk bagi negara-negara lain untuk memasukkan produknya ke Indonesia,” pungkas Syamsul.
Penulis: Aji