Pemerhati disabilitas sekaligus dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) FISIPOL UGM, Danang Arif Darmawan, S.Sos., M.Si., menyebutkan perlu ada perubahan cara pandang dari masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Menurutnya, masyarakat harus memiliki konstruksi sosial atau pengetahuan bahwa disabilitas merupakan suatu keberagaman.
“Perlu perubahan mindset warga terhadap keberadaan disabilitas. Mainstreaming yang menempatkan disabilitas sebagai bagian dari keberagaman dan warga negara yang kemudian bisa mendukung proses pembangunan di Indonesia,” paparnya Sabtu (4/12).
Tak hanya merubah mindset masyarakat, Danang menyampaikan perubahan mindset terhadap disabilitas juga harus dilakukan negara. Menurutnya, harus bisa menempatkan disabilitas menjadi bagian warga dengan identitas yang sama.
“Artinya memiliki aspek keberagaman, seperti di Indonesia ada banyak suku. Disini juga ada keberagaman terkait kondisi masing-masing orang yang beragam dan mereka harus diberi hak dan kewajiban dalam pembangunan,”urainya.
Danang menyebutkan bahwa perhatian pemerintah terhadap penyandang disabilitas sudah cukup baik. Hal tersebut ditunjukkan sudah adanya regulasi yang memberikan jaminan pemenuhan hak dan perlindungan kepada penyandang disabilitas yang diatur dalam dengan UU 6 Tahun 2014 terkait desa yang menekankan perlindungan kelompok rentan dan marjinal seperti perempuan, anak, lansia, masyarakat adat, difabel dan lainnya dan UU No. 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Namun begitu, pemerintah masih lamban dalam mengimplementasikan kebijakan yang ada.
“Secara regulasi ada, tetapi dari sisi implementasi perlu ditingkatkan,”katanya.
Ia menekankan dalam implementasi perlu kerja sama lintas sektoral untuk mewujudkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Misalnya Kementrian PUPR dalam mendukung aksesibilitas ruang publik bagi penyandang disabilitas. Lalu, Kemendibudristek dengan menyosialisasikan keberadaan penyandang disabilitas di setiap tingkat pendidikan.
“Salah satunya yang bisa dilakukan dengan mengajarkan bahasa isyarat. Jadi siswa tidak hanya mempelajari bahasa lokal, namun bahasa isyarat juga dipelajari sehingga saat bertemu penyandang disabilitas bisa berkomunikasi dengan baik,” jelasnya.
Danang menambahkan upaya membangun desa inklusif juga perlu terus digalakkan pemerintah. Seperti model desa inklusi yang dikembangkan Kemendes PDT bekerja sama dengan UGM. Harapannya tak hanya desa inklusif, tetapi kedepan juga dapat meluas di wilayah perkotaan menjadi kota inklusif.
“Sasarannya tidak hanya penyandang disabilitas tapi bagaimana memberikan perubahan mindset warga terhadap keberadaan disabilitas,”tuturnya.
Ia mencontohkan tidak sedikit keluarga penyandang disabilitas seperti tuli yang tidak bisa bahasa isyarat. Hal ini perlu menjadi perhatian bersama bagaimana keluarga dan masyarakat bisa berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
“Jadi, yang menjadi perhatian tak hanya penyandang disabilitas, namun warga masyarakat secara umum bisa berinteraksi dengan para penyandang disabilitas,”katanya.
Penulis: Ika