Pandemi Covid-19 menjadi salah satu bencana besar yang dialami umat manusia di abad modern. Selain mengakibatkan banyak kematian, Covid-19 juga menyebabkan kelumpuhan di beragam sektor kehidupan.
Adanya Covid-19 yang disebabkan adanya mutasi baru virus Corona atau yang dikenal dengan SARS-CoV2 memunculkan banyak inovasi dan pengembangan vaksin atau obat baru Covid-19. Tingginya tantangan dalam pengembangan vaksin dan obat yang aman serta sesuai prosedur tentu menjadi sesuatu yang harus dilakukan.
Merespons kondisi tersebut, belasan negara bergabung dalam Forum for Ethical Review Commitees in Asian & Western Pacific Region (FERCAP) 2021. Masalah-masalah tersebut dibahas dalam Forum for Ethical Review Committees in the Asian & Western Pacific Region (FERCAP) 2021, pada 8-11 Desember 2021. Untuk yang pertama Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan tahunan tersebut.
“Sebenarnya kita ingin menjadi tuan rumah Fercap tahun depan, tetapi karena Korea mengundurkan diri sebagai tuan rumah maka dimajukan. Ini suatu kebanggaan bagi kita untuk menjadi tuan rumah,” ujar Prof. Ova Emilia, M.Med.Ed., Ph.D., SpOG(K), di FKKMK UGM, Selasa (7/11).
Menurut Ova selaku Dekan FKKMK UGM, Fercap ini suatu forum yang memberikan perhatian terhadap penelitian yang menjunjung tinggi etika penelitian. Menurutnya, UGM merupakan salah satu motor untuk keterlibatan Fercap di Indonesia sehingga mampu menularkan praktik baik bagaimana penelitian khususnya yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan manusia.
“Bagaimana manusia terkait kesehatan dari sisi kedokteran diperhatikan dengan baik dengan mengutamakan keselamatan diri manusia. Jadi, pada masa covid ini ada satu hal yang memang khusus dimana kita perlu mencari daya upaya pengobatan baru, tata cara baru yang kadang-kadang belum diketahui,” katanya.
Ova menambahkan peran dari komite penelitian yang beretika beserta kode etiknya menjadi sangat penting. Hal ini perlu disampaikan agar penemuan-penemuan baru masih mengikuti kaidah-kaidah dengan mempertimbangkan keselamatan dari orang yang terlibat di dalam penelitian tersebut.
“Ini sangat penting sekali kalau misalnya ditemukan obat “x” dapat menyembuhkan perlu ada kajian secara akademisnya. Jadi, tidak sekadar testimoni lalu dipercaya. Inilah peran dari komite etik seperti itu,” imbuhnya.
Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK, salah satu penyelenggara Fercap 2021, mengungkapkan permasalahan utama yang dihadapi oleh komisi etik pada masa pandemi adalah tuntutan untuk bekerja lebih cepat tanpa mengurangi kualitas. Komisi etik sering dituntut untuk lebih waspada dalam menilai protokol vaksin atau obat baru mengingat keperluan untuk segera digunakan terkadang mengakibatkan dilewatinya langkah-langkah esensial dalam pelaksanaan penelitian yang tentu saja tidak boleh dilakukan karena membahayakan subjek penelitian.
“Komisi etik penelitian kesehatan ini berbeda dengan komisi etik yang lainnya yang berkaitan dengan etika profesi. Komisi etik penelitian kesehatan itu tugasnya hanya satu untuk meyakinkan bahwa orang-orang yang terlibat dalam penelitian itu terlindungi dengan baik,” ucapnya.
Apalagi penelitian yang melibatkan pasien di rumah sakit maka tugas komisi etik kesehatan harus melihat rencana penelitian (protokol penelitian) apakah sudah mempertimbangkan aspek keamanan dari pasien yang diminta menjadi salah satu partisipan dalam penelitian. Idealnya untuk orang yang sudah sakit dan diteliti, mestinya ia mendapatkan tambahan baik untuk penatalaksanaan, diagnosis, terapi pengobatan dan seterusnya.
“Nah, tugas komisi etik meyakinkan bahwa risiko yang diterima oleh para partisipan ini sebanding dengan manfaatnya nanti. Manfaat untuk ilmu, pengetahuan, kemajuan teknologi, dan untuk pasien itu sendiri,” ungkapnya.
dr. Arif Budiyanto, Ph.D., Sp.KK(K) menambahkan Fercap adalah forum untuk komisi etik penelitian kesehatan di Asia dan Pacific Barat yang beranggotakan 15 negara. Tujuannya memberikan semacam akreditasi atau standarisasi dari komisi-komisi etik dari wilayah Asia dan Pasific Barat dan terintegrasi dengan WHO.
“Komisi etik kita sudah terekognisi sejak 2012. Jadi, secara prosedur kita punya SPO yang sudah terstandarisasi Fercap sejak 2012, dan tiap tiga tahun direkognisi atau diakreditasi tahun 2015 dan 2019,” jelasnya.
Ia menjelaskan berkaitan acara Fercap sebagai acara tahunan juga dilakukan rekognisi terhadap komisi-komisi etik di wilayah Asia dan Pasifik Barat termasuk Indonesia. Untuk tahun ini kalau tidak salah dari Indonesia ada 6.
“Untuk Indonesia saat ini yang sudah terekognisi 11. Jadi, jika nanti tambah 6 menjadi 17 dan di dalam rekognisi mereka juga melakukan konferensi tahunan,” jelasnya.
Untuk Fercap 2021, ia menyampaikan acara dibagi menjadi tiga besar yaitu pre-conference tanggal 8 Desember 2021. Pada pre-confrence ini mengangkat dua topik paralel tentang etik penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial dan tentang tantangan komisi etik di rumah sakit. Kemudian pada tanggal 9 -10 Desember 2021 konferensi Fercap yang akan dihadiri 15 negara. Dilanjutkan General Assembly pada tanggal 11 Desember 2021.
“Seperti di ketahui rumah sakit merupakan ujung tombak penelitian-penelitian kesehatan. Jadi, di rumah sakit sendiri itu ada komisi etik, mereka perlu diberi refreshing soal bagaimana tim etik penelitian itu mereview protokol yang akan menggunakan subjek manusia di rumah sakit sebagai subjek penelitian,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho