Muncul perdebatan di kalangan masyarakat dan akademisi dari implikasi putusan MK mengenai 12 permohonan UU Cipta Kerja (UUCK) pada tanggal 25 November lalu. Hanya 1 perkara yang dikabulkan oleh MK terkait dengan pengujian formil (Perkara No. 91/PUU-XVIII/2020). Satu perkara tidak dapat diterima karena pemohon tidak memiliki legal standing. Serta 10 perkara lainnya terkait dengan pengujian materil tidak dapat diterima karena permohonan kehilangan objek sebab MK telah menyatakan bahwa UUCK inkonstitusional bersyarat.
“Dalam Amar Putusan No 91/PPU-XVII/ 20 kita dapat melihat secara substansi terdapat 3 kata negatif,” ungkap Dr. Mahaarum Kusuma Pertiwi, S.H., M.Phil., Ph.D dalam Seminar Perbaikan Mendasar dan Menyeluruh Aspek Formil Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja Fakultas Hukum UGM pada Rabu (15/12).
Mahaarum menjelaskan terdapat 3 kemungkinan yang dapat terjadi yaitu akan adanya perubahan formil, terjadi perubahan perubahan formil dan substansial, serta tidak akan melakukan perubahan.
Dalam sesi yang ia bawakan, Yance Arizona, SH, MH, MA. menjelaskan mengenai 10 proposisi argumen mengenai UUCK, Putusan MK, dan respons pemerintah.
UUCK adalah wujud authoritarian neoliberal cositualinalism, sudah ditentang masyarakat sejak awal pembentukan, MK menyatakan UUCK cacat formal, UUCK masih sah namun pelaksanaannya harus ditangguhkan, putusan MK memberikan sinyal perlu adanya penataan ulang tentang prosedur pembentukan peraturan.
Pembentukan undang undang harus menjamin meaningful participation, perlu lebih dari sekedar MK untuk melakukan pengendalian pembentukan undang undang, putusan MK dapat menyebabkan ketidakpastian hukum, serta cara terbaik pemerintah untuk memperbaiki UUCK adalah dengan mencabutnya terlebih dahulu.
“Bagi saya putusan MK no 91 ada poin penting dan silang pendapat. Menurut berbagai pihak yang menekuni studi putusan melihat terdapat beberapa bagian tidak penting untuk dicantumkan,” ujar Dr. Herlambang Perdana Wiratama, S.H., M.A. dalam pemaparannya.
Beberapa hal menjadi paradox. Herlambang menjelaskan, artinya premis yang digunakan, dan proses penarikan kesimpulan, dan pada akhir pengambilan keputusan tidak ada kesinambungan.
“Putusan MK ini bukan sebagai jalan tengah namun sebagai jalan pemerintah yang mana MK memberikan rambu rambu di dalamnya sehingga jalan ini dapat digunakan dengan baik,” jelas I Gusti Agung Made Wardana, SH, LLM, PhD. saat memberikan perspektif berdasarkan aspek politik ebilikasi.
Ia menambahkan, kita juga harus melihat posisi politis MK dalam memberikan legitimasi bagi UUCK. Karena faktanya perlawanan masyarakat terhadap UUCK bukan hanya dalam prosedur pembuatan peraturan tetapi juga dalam tataran paradigmanya yang meletakkan pertumbuhan ekonomi di atas kepentingan keselamatan rakyat dan kelestarian lingkungan hidup.
Penulis: Khansa