Menjelang pemilu tahun 2024, pelaksanaan demokrasi di Indonesia semakin diuji dari sisi penguatan konsolidasi dan kedewasaan warga masyarakat serta partai politik dalam menjalankan sistem demokrasi. Seperti diketahui, demokrasi tidak semata-mata sebagai cara untuk memilih calon pemimpin, namun menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan serta tersampainya aspirasi masyarakat selaku pemegang kedaulatan. Oleh karena itu, diperlukan penguatan kualitas lembaga demokrasi, partai politik, dan penguatan ideologi Pancasila agar demokrasi semakin baik dan berkualitas.
Demikian beberapa hal yang mengemuka dalam seminar yang bertajuk Konsolidasi Demokrasi dan Penguatan Ideologi Pancasila, kamis (30/1) di Ballroom Novotel Suites Yogyakarta. Seminar yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI ini menghadirkan beberapa orang pembicara diantaranya Dr Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR RI, Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Djarot Saiful Hidayat, Dosen Departemen Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Dr. Abdul Gaffar Karim, Dosen Sosiologi UGM, Dr. Dodi Ambardi, Dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM, Dr. Diah Kusumaningrum, Anggota Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati.
Dekan Fisipol UGM, Wawan Masudi, Ph.D., mengatakan sejak pasca era reformasi pelaksanaan demokrasi sudah melalui perkembangan yang cukup pesat. Namun, sistem elektoral sudah disepakati bersama sebagai mekanisme dalam memilih pemimpin. “Meski dengan dengan berbagai macam problematikanya, politik elektoral sudah mencapai tahap konsolidasi,” paparnya.
Yang tidak perlu dilupakan menurut Wawan adalah tujuan berdemokrasi adalah mencapai kesejahteraan. “Demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan penerima kesejahteraan,” ujarnya.
Wakil Ketua MPR RI, Dr. Ahmad Basarah, mengatakan penguatan ideologi Pancasila sangat diperlukan di tengah perkembangan arus informasi yang begitu masif yang bisa memunculkan dampak negatif berupa paham liberalisme, individualisme, eksklusivisme, kekerasan dan anti keragaman. Oleh karena itu, diperlukan penguatan ideologi Pancasila agar demokrasi yang sudah disepakati dan dijalankan ini tidak kehilangan tujuan dan arahnya. “Kita harus berpijak pada akar dan kepribadian bangsa kita agar konsolidasi demokrasi bisa dicapai,” ujarnya.
Pengamat Politik UGM, Dr Abdul Gaffar Karim, mengatakan demokrasi Indonesia saat ini tengah berupaya mencari titik temu antara prosedur dan substansi demokrasi. Namun, demokrasi yang dijalankan saat ini menitikberatkan pada penyeragaman melalui mekanisme politik elektoral. Padahal, politik elektoral tidak sepenuhnya perlu diseragamkan di seluruh daerah di Indonesia. Ia mencontohkan demokrasi asimetris yang ada di DIY, DKI, dan Aceh. “Ada praktek baik di daerah lainnya. Kita selama ini berambisi pada penyeragaman,” ujarnya.
Di samping itu, Gaffar juga menyoroti belakangan ini makin lemahnya partisipasi warga dalam menyampaikan aspirasi yang masih sering disalah artikan atau dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Menurut pandangannya, semua warga negara dalam sebuah komunitas politik berhak untuk berpartisipasi dan didengarkan suaranya “Tidak ada alasan yang demo itu harus memberikan solusi. Sebab, yang mencari solusi adalah pemerintah yang sudah digaji,” katanya.
Sementara Dr. Diah Kusumaningrum menyampaikan ciri negara yang demokratis itu dimana setiap warga masyarakat sudah saling memanusiakan, melindungi yang lemah, dan bisa berkonflik secara nirkekerasan. “Bahkan setiap warga pun juga harus siap kecewa,” ujarnya.
Penulis : Gusti Grehenson