Tidak terasa, sudah satu semester program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MKBM) dijalankan. Berbagai pengalaman tampaknya telah didapatkan oleh para mahasiswa yang mengambil sks (satuan kredit semester) di luar prodi maupun di luar kampus. Hal ini seperti yang diperoleh Arif Akbar Pradana, mahasiswa sarjana Ilmu Sejarah FIB UGM. Mahasiswa UGM angkatan 2018 tersebut sukses menyelenggarakan pameran arsip bertajuk “Baboe” atau pekerja rumah tangga perempuan pada zaman kolonial Belanda.
Pameran ini merupakan tugas akhir dari mata kuliah Kurasi Arsip yang diikuti Arif dari Program Studi S1 Tata Kelola Seni, Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta. Dengan memanfaatkan kesempatan tersebut, Arif mengutarakan hasil analisis dan temuannya untuk meluruskan wacana belum lengkap dari kehidupan seorang “Baboe” di masa kolonial.
“Pesan yang disampaikan dalam pameran baboe ini adalah selain mengafirmasi ide besar kolonial yakni ekspolitasi, dominasi, dan diskriminasi, tetapi juga menunjukan bahwa terdapat praktik-praktik humanis di dalamnya,” tutur Arif, Sabtu (1/1).
Di satu sisi, Arif menghadirkan berbagai arsip yang membenarkan fakta terkait diskriminasi hukum yang dialami para baboe di zaman dahulu. Arif membenarkan bahwa kedudukan baboe di depan hukum kala itu lebih kurang hanyalah sebagai objek, bukan subjek yang memiliki kesamaan hak dengan orang lain. Dalam salah satu arsip misalnya diceritakan bahwa pernah terdapat kasus konflik antara baboe dan majikannya yang merupakan orang Belanda dengan keluaran peradilan sang majikan mendapatkan perlakuan istimewa di depan hukum. Sang majikan yang diketahui melakukan tindak pemukulan kepada baboe nyatanya dengan mudah mendapatkan vonis bebas hanya karena telah bercerita jujur di depan hakim.
Di sisi lain, disamping berbagai ekspolitasi, dominasi, dan diskriminasi yang dialami oleh para baboe tersebut, Arif turut mengungkapkan bahwa sesungguhnya juga terdapat praktik-praktik humanisme diantara para baboe dan majikannya. Terdapat arsip sejarah yang menceritakan bahwa baboe diperlakukan layaknya keluarga oleh majikannya. Di mata anak-anak Belanda, baboe pun ada dianggap sebagai salah satu orang tua mereka.
“(Ada juga cerita dimana) Baboe oleh majikannya diperlakukan layaknya keluarga. Baboe dalam banyak kesempatan mendapatkan ruang yang sama dengan anggota keluarga lain (dengan batasan tertentu). Bahkan, anak-anak di banyak keluarga (Belanda) memiliki tingkat kedekatan yang lebih dengan Baboe dibanding dengan orang tuanya. Di dalam narasi besar sejarah Indonesia kehangatan antara baboe dengan tuannya ini minim terekspose akibat kepentingan-kepentingan politik tertentu dan terhambat oleh urusan ‘nasionalisme’,” tulis Arif dalam katalog pamerannya.
Pameran Arsip “Baboe” yang dikuratori oleh Arif tersebut digelar tanggal 8—11 Desember 2021 lalu di Asrama Putra Jember Yogyakarta. Sebelumnya, Arif melakukan riset selama dua bulan yang dimulai dengan pengumpulan sumber data, verifikasi, serta interpretasi data, lalu kemudian baru disusun dan didisplai dalam bentuk pameran.
Penulis: Aji