Aksi klithih kembali marak di Jogjakarta. Bahkan, sempat bertebaran tagar #SriSultanYogyaDaruratKlitih, #YogyaTidakAman, di media sosial Twitter pada akhir bulan Desember 2021 lalu. Tagar yang bermunculan ini mencerminkan keluhan atas berbagai kasus kejahatan jalanan atau klithih di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Wahyu Kustiningsih, S.Sos., M.A, dosen Sosiologi, Fisipol UGM, menuturkan melihat fenomena klithih tidak bisa lepas dari konteks sejarah. Berbicara klitihih pasti tidak lepas dari sejarah genk-genk anak SMA jaman dahulu di Jogjakarta.
“Secara histori pasti terkait, artinya bisa jadi klithih itu muncul lagi. Ini bisa dimaknai sebagai bagian dari kenakalan remaja, dan jangan heran di masa depan pasti akan muncul kembali,” ujarnya, di Kampus UGM, Selasa (4/1).
Wahyu Kustiningsih menyebut klithih itu label tindakan dan karena terjadi di Jogjakarta maka lebih khas dengan nama klitihih walaupun sebenarnya secara teori sebagai bagian dari kenakalan remaja. Karenanya untuk memberantas butuh upaya yang lebih.
Tidak lagi sekedar menangkap pelakunya dan kemudian selesai urusan, tetapi karena soal ini sebagai kenakalan remaja maka ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan.
“Pelaku tertangkap bisa jadi belum ada penyesalahan, sebab jika ini kenakalan remaja maka ini menyangkut soal exercise power. Jika ini dianggap sebagai kenakalan remaja maka salah satu tujuannya adalah untuk recognisi, anak muda itu kan khas dengan pencarian jati diri dan sebagainya,” ucapnya.
Ada banyak penyebab munculnya klithih di Jogja yang melibatkan anak-anak remaja. Salah satunya semakin terbatasnya ruang publik sebagai arena ekspresi.
Jika dahulu ruang publik begitu luas maka kini berkurang cukup banyak. Belum lagi persoalan pandemi yang terjadi saat ini dimana orang harus berjarak dan akhirnya memaksa orang mau tidak mau harus beralih dengan teknologi untuk berinteraksi dan lain-lain.
“Jadi, ruang yang sudah berkurang semakin berkurang lagi saat ini orang pun akan semakin jauh dari masyarakat. Membentuk dunianya yang semakin terasing dari masyarakatnya karena mereka sudah asyik dengan komunitasnya yang bisa terhubung secara virtual dan sebagainya. Artinya peluang-peluang dari anak muda ini harus diperhatikan agar mereka bisa berinteraksi dan sebagainya guna bisa mengurangi kecenderungan melakukan aktivitas-aktivitas seperti klithih,” katanya.
Wahyu melihat aksi klithih dari perspektif sosial bukan sekedar yang dilakukan anak muda dalam sebuah genk, tapi sebagai fenomena yang berafiliasi dengan politik. Ia menandaskan aksi klithih tidak lepas dari sejarah panjang di Jogja dengan dinamika anak muda dan genk-genk yang sampai sekarang masih ada dan kemungkinan semerbak kembali di tahun 2024.
Di tengah krisis ekonomi yang terjadi, Wahyu tidak menampik kenyataan ada orang akan memanfaatkan fenomena klithih untuk melakukan tindakan kriminal, seperti perampokan, pembacokan dan sebagainya yang mengarah pada perampasan materi (ekonomi). Jika ini yang terjadi maka pendekatan yang dilakukan akan berbeda.
“Kalau kriminal jelas ditangkap, kemudian dihukum sesuai peraturan yang berlaku. Kalau seperti ini jauh lebih mudah dalam penanganannya karena cukup dengan memperbanyak CCTV, ciptakan efek panopticon, seperti di dalam penjara orang tidak bisa bertindak macam-macam karena adanya banyak kamera untuk mengawasi,” terangnya.
Kembali pada persoalan klithih, kata Wahyu, fenomena ini sebagai bagian dari dinamika orang muda yang tidak bisa lepas dari konteks sejarah Jogja dan dalam penangananannya harus memerlukan usaha yang lebih (ekstra). Karena ciri klithih melukai tetapi tidak merampas.
Melukai untuk eksistensi karena mereka anak muda dan ini yang lebih sulit untuk dihandel karena tidak merampas. Mereka melakukan koordinasi tidak harus ketemu misal melalui medsos membangun gerakan dan langsung bertemu di lokasi untuk eksekusi.
“Ini agak susah yang kriminal jejaring ideologinya tidak sekuat genk-genk yang tanpa merampas. Beberapa kali peristiwa penyabetan hanya dilakukan satu orang pelaku, dengan motor baru dari orang tuanya yang mendapat warisan, terus bergabung dengan genk, seperti itu kan persoalan eksistensi,” ungkapnya.
Wahyu menyayangkan jika ada anak nakal di sebuah lingkungan bukannya dirangkul tetapi justru melabeli anak tersebut sebagai anak nakal. Akibatnya mereka pun merasa teralineasi dari komunitas dan kemudian membangun komunitas sendiri dimana mereka bisa eksis.
Dalam kondisi seperti ini, katanya, jika ingin mengurangi maka masyarakat harus berperan. Ada banyak cara bisa dilakukan, misalnya dari komunitas anak muda melalui karang taruna atau komunitas ibu-ibu PKK dan lain-lain.
“Melakukan gerakan merangkul bersama secara lebih masif, ibu PKK membahas bagaimana pengasuhan anak zaman sekarang sebagai upaya mengurangi risiko anak muda melakukan tindakan negatif. Karang Taruna melalui kegiatan positif dan produktif yang bisa mengakomodir anak muda demikian juga bapak-bapak bahas isu pengasuhan dan lain-lain,”urainya.
Sekali lagi, Wahyu menyayangkan kondisi saat ini dimana beban orang tua juga sangat luar biasa. Tidak sedikit dari mereka memiliki beban ekonomi karena PHK dan sebagainya. Belum lagi adanya kebutuhan yang semakin meningkat sehingga tidak berkesempatan melakukan tindakan yang ideal melalui komunitas untuk menyelamatkan generasi muda.
Apalagi dengan hadirnya teknologi informasi di era pandemi memaksa orang untuk bertransformasi ke masyarakat digital. Implikasinya adalah pada konsumsi dan produksi dan salah satu yang paling kentara muncul adalah invidualisme yang sangat tinggi.
“Ini tentunya juga berlaku bagaimana mereka berelasi sosial, artinya tidak heran jika mereka kemudian melihat fenomena klithih bukan menjadi bagian dari tugasnya. Bisa jadi seperti itu karena individualisme tinggi,” paparnya.
Oleh karena itu, tantangan kedepan adalah menciptakan komunalitas di masyarakat dengan berbagai aktivitas agar partisipasi mereka untuk menjaga sesama warga meningkat. Misalnya Poskamling di masa pandemi yang mulai berkurang diaktifkan kembali agar anak muda yang suka nongkrong tidak jelas diajak pada aktivitas menjaga keamanan lingkungan.
Agar anak muda lebih berkontribusi positif ke masyarakat. Sementara di saat ronda para sesepuh masyarakat bisa secara informal menyampaikan program-program bagus terkait pembangunan lingkungan atau desa.
“Jadi, banyak cara yang bisa dilakukan dengan memperkuat komunalitas, dan dalam komunalitas yang berupa kehidupan bersama itu kan sebenarnya nyawanya orang jawa ada di situ,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : KR Jogja