Belakangan ini dunia maya digemparkan oleh sebuah video viral seorang relawan di Lumajang yang menendang sesaji ke dalam jurang. Sambil membuang sesaji tersebut ia menyampaikan pandangan pribadinya bahwa sesaji tersebut menimbulkan murka Tuhan sehingga menyebabkan bencana erupsi Gunung Semeru. Perilaku pemuda tersebut menimbulkan pro dan kontra di masyarakat bahkan ia dianggap tidak menghormati keragaman tradisi di masyarakat. Alhasil pria asal Lombok ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya setelah ditangkap di Banguntapan Bantul Yogyakarta.
Menanggapi soal sesaji ini, Dosen Filsafat UGM yang menggeluti budaya kearifan lokal, Dr. Sartini, mengatakan bahwa di masyarakat kita tradisi sesajen sering diartikan sebagai bentuk persembahan baik kepada Tuhan, dewa, roh leluhur, atau nenek moyang, dan makhluk yang tidak kelihatan. Menurutnya, tradisi ini sudah ada sejak sebelum Islam masuk, bahkan sebelum adanya agama Hindu dan Budha. “Sesaji biasanya dikaitkan dengan ritual yang diadakan untuk tujuan tertentu. Oleh karenanya, benda-benda yang disiapkan untuk tiap sesaji dapat berbeda-beda. Masing-masing unsur dalam sesaji mempunyai filosofinya sendiri,”kata Sartini, Sabtu (15/1).
Di Jawa, kata Sartini, sesaji sering disebut uborampe atau kelengkapan. Sementara di Lumajang, bila itu sebagai tradisi masyarakat setempat, mungkin saja orang yang melakukan sesaji menganggap Semeru sebagai “makhluk” yang memiliki kekuatan dan berharap agar Semeru tidak “murka” lagi. “Dalam konteks sekarang, tentu di sana termuat permohonan kepada Tuhan agar mereka diberi keselamatan. Perlu penelitian khusus untuk mengkaji fenomena ini,”ujarnya.
Menurut pemahaman Sartini, di tanah air kepercayaan tentang animisme dan dinamisme merupakan paham yang meyakini adanya roh yang hidup bersama manusia di alam semesta ini. Roh itu berupa roh orang yang sudah meninggal dunia, nenek moyang, atau leluhur. Bagian-bagian dari alam, benda, tumbuhan, atau hewan juga sering dianggap mempunyai roh dan mempunyai kekuatan besar, maka gunung atau laut dianggap harus dihormati keberadaannya. “Sebagian kepercayaan ini mungkin masih ada di bumi Nusantara. Kepercayaan ini mungkin sulit dibedakan dengan pemahaman bahwa ada makhluk tidak kelihatan yang juga hidup bersama manusia, tempatnya bisa di mana saja, gunung, laut, dan lainnya. Makhluk ini juga dianggap memiliki kekuatan dan kekuasaan atas tempat tertentu sehingga juga harus diberikan penghargaan atas keberadaannya. Tradisi membuat sesaji dapat menjadi bagian bentuk masih adanya kepercayaan tersebut. Manusia merasa harus berdamai, hidup bersama makhluk yang tidak kelihatan tersebut. Melakukan sesaji adalah salah satu caranya,”ujarnya.
Namun demikian, menurutnya di lingkungan Islam, fenomena sesaji memunculkan banyak tafsir. Pandangan intinya adalah bahwa sesaji yang dipersembahkan untuk memohon sesuatu kepada selain Allah hukumnya haram atau dilarang. Sekalipun demikian, masih ada pandangan yang agak memberi peluang hal dibolehkannya sesaji. Orang yang membolehkan mungkin berpandangan melakukannya sebagai sekedar tradisi dan niat permohonannya tetap kepada Allah, maka hal itu tidak menjadi masalah. Alasannya, karena niat permohonannya ditujukan kepada Allah. “Masalahnya adalah, tidak bisa orang memahami niat orang lain dengan hanya melihat apa yang dilakukan. Inilah yang sering menimbulkan banyak persoalan sosial,” katanya.
Mengatasi hal ini, ia menilai keyakinan dan pemahaman sebagian masyarakat kita soal sesaji merupakan akumulasi pengalaman sepanjang hidup. Dalam kelompok yang mungkin mengakomodasikan agama dan tradisi, hibridisasinya mungkin dapat dilakukan dengan menyosialisasikan makna simbolnya sehingga orang tidak memahaminya sebagai mitos dan kepercayaan semata yang bila sesuatu tidak dilakukan maka akan menyebabkan hal-hal tertentu. “Rasionalisasi simbol-simbol ritual diperlukan untuk menghadapi masyarakat yang semakin modern, rasional dan bahkan materialistik,”ujarnya.
Selain itu, kelompok beragama perlu sering berdialog dan sering bertemu sehingga satu dengan yang lain lebih merasa sebagai teman. “Sering berkumpul dan berkunjung akan dapat menimbulkan empati karena ikut merasakan kehidupannya sehingga tidak akan mudah memaksa-maksa orang lain untuk sama dengan dirinya,”pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson