Sebagai salah satu produk hukum Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah diundangkan pada tanggal 30 April 2008. Dua tahun setelah itu atau tepatnya pada 1 Mei 2010 UU tersebut akan mulai diberlakukan.
UU KIP mengikat setiap badan publik membuka akses bagi pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali beberapa informasi tertentu. UGM sebagai badan publik tidak terhindar dari kewajiban ini. Perguruan tinggi ini juga diharapkan untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik. “Implementasi UU ini pada tanggal 1 Mei 2010 nanti tentunya diperlukan sosialisasi kepada segenap civitas akademika dan pejabat UGM,” kata Suryo Baskoro, Kepala Bidang Humas dan Keprotokolan (HMK) UGM, saat berlangsung Diskusi Keterbukaan Informasi Publik, Kamis (1/4).
Sebagai penyelenggara diskusi, Suryo mengharapkan pengetahuan terhadap UU KIP mampu meningkatkan kesadaran civitas akademika terhadap transparansi informasi. Adanya tuntutan transparansi pada akhirnya akan bermuara pada akuntabilitas UGM sebagai badan publik. “Substansi UU KIP mengandung konsekuensi UGM harus menyiapkan basis data informasi yang dapat dipublikkan dan membentuk focal point serta menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi pada unit masing-masing, yang bertugas menyediakan dan memberikan layanan informasi publik yang diperlukan,” jelasnya di Balai Senat UGM.
UU KIP dirumuskan berdasarkan pertimbangan bahwa informasi adalah hak dasar semua warga negara. Hal ini sejalan dengan rumusan yang tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di sana dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi guna mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
“Alam demokrasi di Indonesia memasuki era barunya bersamaan dengan reformasi yang digelorakan pada tahun 1997. Sejak saat itu, muncul banyak tuntutan publik terhadap keterbukaan/transparansi. Tuntutan tersebut rupanya direspon dengan baik oleh pemerintah, khususnya oleh legislatif. Maka, sejak itu pulalah beberapa undang-undang penting terbit, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” terang Suryo.
Wakil Rektor Senior Bidang Administrasi, Keuangan, dan Sumber Daya Manusia UGM, Prof. Ainun Na’im, M.B.A., Ph.D., menilai penyelenggaraan Diskusi Keterbukaan Informasi Publik sangat relevan dengan situasi saat ini, terlebih lagi dengan implementasi undang-undang ini di beberapa perguruan tinggi, khususnya di UGM. “UU ini penting untuk dipahami karena dalam pengelolaannya UGM sangat sensitif terhadap kepentingan-kepentingan publik,” tuturnya saat membuka diskusi.
Meski begitu, menurut Ainun Na’im, mestinya dapat dipilah informasi apa saja yang seharusnya dipertahankan untuk tidak diumumkan pada publik atau sebaliknya, lantas pihak mana yang semestinya berhak menyampaikan informasi dan siapa yang tidak berhak. “Di berbagai perguruan tinggi negara lain, kita bisa melihat orang tua tidak berhak menerima nilai raport anaknya karena yang berhak menerima nilai adalah mahasiswa yang bersangkutan. Kalau pun orang tua ingin tahu, ia diharapkan bertanya pada sang anak. Secara kultural, hal ini tentu tidak sama,” tambahnya.
Oleh karena itu, tetap diperlukan sikap kehati-hatian dalam menyikapi arus informasi. Sikap tersebut dapat muncul, misalnya, saat akan menentukan lulus dan tidaknya mahasiswa. “Bagaimana kita menjelaskan sesorang lulus dan tidak lulus, siapa yang berhak mendapat skor nilai, dan sebagainya. Ini adalah sesuatu yang sensitif, perlu memahami sebab terkait UU KIP. Demikian juga tentang biaya pendidikan,” tuturnya. Ainun berpendapat bahwa masalah desiminasi informasi memang masalah yang penting dan unik karena informasi memiliki nilai, yang dalam ekonomi disebut sebagai economic value.
Di berbagai bidang, regulasi tentang informasi ini sesungguhnya telah lama ada. “Bahkan mungkin sejak abad yang lalu, apalagi menyangkut regulasi tentang kerahasiaan negara, kerahasiaan intelejen, apa-apa yang harus dilaporkan kepada publik. Menyangkut pasar modal, misalnya, bagaimana kita bisa melihat perusahaan-perusahaan publik itu taat pada peraturan-peraturan yang mewajibkannya harus melaporkan/menyampaikan sesuatu yang bersifat stratejik, baik kesuksesan maupun kebangkrutan peruasahaan. Demikian pula di lingkungan negara atau pemerintahan, kita bisa melihat dalam sejarah bagaimana seseorang bisa mendapatkan hukuman karena menyampaikan informasi yang menurut perundangan negara seharusnya tidak disampaikan,” jelasnya.
Salah satu pembicara dalam diskusi tersebut, Staf Ahli Menkominfo Bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat, Dr. Suprawoto, S.H., M.Si., mengatakan keberadaan UU Nomor 14 Tahun 2008 ini mendorong sikap banyak orang dan lembaga untuk berubah. Mereka yang tadinya tertutup menjadi terbuka. Dengan UU ini, serta-merta mereka menyiapkan data-data yang mungkin dibutuhkan publik.
Sementara itu, Abdul Rahman Ma’mun dari Komisioner Komisi Informasi Pusat berpandangan bahwa sosialisasi UU Nomor 14 Tahun 2008 penting untuk dilakukan karena sekitar 7.000 institusi akan berhubungan dengan UU ini. Mereka diharapkan untuk menyiapkan standar layanan informasi publik dan berupaya untuk meminimalkan sengketa akibat UU ini.
Tampak hadir dalam acara tersebut, Pimpinan Universitas dan fakultas, MWA, MGB, SA, dan unit-unit di lingkungan UGM. (Humas UGM/ Agung)