Pemerintah secara resmi menamai calon ibu kota negara (IKN) dengan nama Nusantara. Penamaan Ibu Kota Negara yang baru yang terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur ini menuai pro dan kontra di masyarakat soal pemilihan nama tersebut. Namun demikian, pemilihan kata Nusantara tentu menjadi kajian mendalam. Bahkan, kata Nusantara sudah dikenal sejak lama di era masa kerajaan Singosari dan Majapahit. Menurut Sejarawan UGM, Dr. Arif Akhyat, M.A., kata Nusantara bukan hanya muncul pada masa Majapahit, tapi sejak masa kerajaan Singasari sudah digunakan untuk merujuk wilayah pulau luar.
“Nusantara dibedakan dengan dvipantara yakni dvipa yang artinya Jawa. Konsep Nusantara, pada masa Majapahit merupakan konsep geopolitik untuk mengidentifikasi suatu wilayah yang meliputi Bali, Malayu, Madura dan Tanjungpura. Keempat wilayah itu juga termasuk wilayah Singapura, Malaysia. Juga wilayah Sumatra, Borneo, Sulawesi dan Maluku, Lombok, Timor. Bahkan, pengaruhnya sampai Champa, Cambodia, Annam dan Siam. Jadi secara geografis, Nusantara lebih luas dari apa yg sekarang disebut Indonesia. Dengan sedikit ulasan tadi sebenarnya, Nusantara, bukan Jawa tetapi justru merujuk luar Jawa,” kata Arif Akhyat, Rabu (19/1).
Menurut pandangan dosen Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) ini, kata Nusantara untuk penamaan suatu wilayah tidak mengandung perspektif negatif atau positif. Ia hanya sebuah nama untuk menyebut wilayah di luar Jawa. “Jika diberikan nama itu untuk IKN ya itu soal nama. Tetapi bagaimana tafsir nama itu digunakan sebagai kebijakan politik untuk pemerataan, keseimbangan, keadilan pembangunan. Inti pemindahan IKN itu bukan soal nama, namun seberapa jauh persiapan yang dilakukan dengan berbagai analisis secara komprehensif dan multidisipliner. Jangan sampai pemindahan IKN hanya sebagai retorika politik dan praktik politik mercusuar,”paparnya.
Seperti diketahui Presiden Soekarno pernah bercita-cita memindahkan IKN dari Jakarta ke Kalimantan. Menurutnya, Soekarno ingin memindahkan IKN saat itu, pasti ada motif yang berbeda dengan sekarang. Sepanjang pengetahuannya, berbagai motif dan alasan melatarbelakangi perpindahan IKN. Sebagai misal, IKN pernah pindah ke Yogyakarta 1946, dikarenakan kondisi Jakarta secara politik tidak aman, revolutif, dan di bawah ancaman agresi militer Belanda. Kalau gagasan IKN mau dipindahkan Soekarno tahun 1957 ke Palangkaraya, itu pun sangat mungkin karena salah satunya adanya intrik politik militer 1957 dengan gerakan separatisme dari berbagai daerah, sehingga IKN (Jakarta) tidak aman. “Jadi persoalan perpindahan IKN ini bukan sekedar relevan atau tidak, namun seberapa jauh urgensi dan kesiapan berbagai bidang dalam mengatur keseimbangan dan keadilan pembangunan. Lebih jauh lagi, kebijakan makro dalam konteks pembangunan, termasuk perpindahan IKN jangan sampai ahistoris dan bersifat politis,” jelasnya.
Kembali pada soal pemilihan nama baru untuk IKN, Arif punya pandangan sendiri. Menurutnya nama ibu kota negara sebaiknya merujuk pada nama wilayah itu sebelumnya. Sebab, bila terjadi pemilihan nama baru untuk sebuah wilayah biasanya akan menghilangkan aspek historis dan konstruksi sosial budaya masyarakat yang sudah menempati sebelumnya. “Dalam kajian sejarah, nama-nama kota, apalagi Ibu Kota, selalu terkait dengan kemegahan kota masa lalu,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Nyoman Nuarta