Yogya (KU) – Penanggulangan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di berbagai daerah dalam sepuluh tahun terakhir ini tidak dilakukan secara optimal. Hal itu disebabkan laporan surveilans DBD hanya berhenti di tingkat kabupaten/kota. Kebijakan tersebut dijalankan sejak diberlakukannya otonomi daerah.
Peneliti penyakit tropis Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K), mensinyalir angka penderita DBD di berbagai daerah dari tahun ke tahun kian meningkat meskipun tidak ada laporan dari dinas terkait. “Saya khawatir menjelang pilkada demam berdarah dipolitisir supaya incumbent baik namanya. Sudah ada kejadian luar biasa, tapi tidak dilaporkan,” kata Sutaryo kepada wartawan di Ruang Fortakgama, Rabu (7/4).
Menurut Sutaryo, data dari daerah diperlukan untuk penanggulangan dan program penurunan angka penderita DBD, juga untuk menekan angka kematian DBD hingga kurang satu persen. Ditambahkannya, otonomi daerah menyebabkan kabupaten/kota merasa laporan kasus DBD tidak perlu diteruskan ke tingkat provinsi atau pusat.
Persoalan anggaran juga ikut menambah rumitnya penurunan kasus DBD di daerah. Pasalnya, DBD merupakan penyakit endemis yang selalu akan ditemukan sepanjang tahun, terutama pada masa pancaroba bulan Desember hingga Maret. Sementara itu, anggaran pemerintah di bulan-bulan tersebut sangat sulit digelontorkan. “Desember dan Januari, usaha untuk menurunkan dana DB cukup sulit. Di bulan Desember, anggaran sudah mau habis, sementara di Januari anggaran belum turun,” jelasnya.
Selain itu, penanganan DBD juga semakin terkendala dengan belum ditemukannya obat dan vaksin untuk mengurangi angka kematian. Indonesia sendiri merupakan bagian dari sepertiga penduduk dunia yang tinggal di negara tropis dan subtropis yang berisiko terkena dan tertular demam berdarah.
Ketua Satgas Penanggulangan DBD RSUP Dr. Sardjito, dr. Ida Safitri, Sp.A., menambahkan masih ada kesalahan persepsi di kalangan masyarakat bahkan tenaga medis, yakni bahwa penurunan jumlah trombosit merupakan penentu derajat keparahan DBD. Padahal, tingkat keparahan DBD ditentukan oleh adanya proses perembesan cairan plasma dari pembuluh darah ke rongga tubuh yang menyebabkan terjadinya shock.
Menanggapi adanya obat yang beredar di pasaran yang mengandung angkak, ekstrak jambu biji merah, sari kurma, dan sebagainya, menurut Ida, sampai saat ini belum terbukti secara ilmiah meningkatkan jumlah kadar trombosit. (Humas UGM/Gusti Grehenson)