Insiden pengusiran tamu dalam rapat DPR terulang kembali dengan diusirnya Dirut Krakatau Steel, Silmy Karim, dalam rapat dengan Komisi VII DPR pada Senin lalu di kantor Parlemen, Senayan, Jakarta. Sebelumnya insiden serupa terjadi dalam rapat dengan Komnas Perempuan dan Sekjen Kemensos pada pertengahan Januari lalu.
Menanggapi insiden pengusiran tamu DPR menjadi keprihatinan dari Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol ) Universitas Gadjah Mada, Wawan Mas’udi, Ph.D. Menurut Wawan, pengusiran tamu di kompleks Senayan sebenarnya bukan kali ini terjadi bahkan mantan Menteri BUMN, Rini Soemarno, pernah mengalami hal yang serupa dan dilarang ikut rapat dengan DPR. Meski kewenangan pengusiran tamu tersebut menjadi kewenangan pimpinan rapat, namun adanya kejadian pengusiran tersebut diakui Wawan meninggalkan imej yang kurang baik bagi parlemen. Sebab, pengusiran tersebut justru tidak menghasilkan sesuatu yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak. “Substansi dan tujuan dari dengar pendapat dari forum itu akhirnya tidak tercapai, padahal tujuannya meminta keterangan, mendapat gambaran permasalahan yang semestinya untuk dicari solusinya. Main usir ini hanya ingin menunjukkan siapa yang kuat dan lemahnya saja,” kata Wawan, Jumat (18/2).
Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM ini menambahkan kebiasaan pengusiran terhadap tamu dalam forum dengar pendapat di parlemen sebaiknya dihilangkan karena DPR adalah lembaga wakil rakyat yang bertugas melakukan pengawasan dari roda pemerintahan yang dilakukan oleh para eksekutif. Selain itu, pihak tamu yang diundang menurut Wawan juga harus menunjukkan sikap respek dengan anggota dewan dan menaati aturan yang berlaku di kantor parlemen. Jika ada persoalan miskomunikasi, menurutnya perlu diselesaikan duduk bersama. “Saya kira semua pihak saling respek antar institusi. Siapapun yang diundang tujuannya memberi keterangan karena DPR memberi pengawasan untuk kebutuhan publik. Sebaliknya, bagi anggota DPR, jika ada persoalan atau komunikasi yang tidak lancar, sebaiknya tidak buru-buru mengusir apalagi itu bukan keputusan kolektif (anggota), namun sering dilakukan oleh ketua rapat. Hal itu juga perlu diperhatikan dan dievaluasi,”ujarnya.
Bagi Wawan, insiden pengusiran tamu DPR ini lebih kepada persoalan emosional para pimpinan rapat. Ia menganjurkan agar kejadian serupa tidak terulang kembali, apabila terjadi deadlock dalam rapat, sebaiknya rapat diskors sementara. Selanjutnya para pimpinan rapat dengan anggota komisi melakukan diskusi untuk menyepakati dan memutuskan apakah rapat tetap dilanjutkan atau dihentikan. “Dengan begitu antara tamu dan tuan rumah saling menghargai posisi satu sama lain,”pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : dpr.go.id