Dalam sepekan terakhir Indonesia mengalami krisis kedelai. Krisis kedelai ini ditandai dengan peningkatan harga yang signifikan dari 7.000-9.000 menjadi 11.300 di Jawa dan sampai 12.500 rupiah per kilogram di luar Jawa. Kenaikan harga 30-40 persen tersebut tentu sangat memberatkan konsumen kedelai yang sebagian besar merupakan UMKM perajin tahu dan tempe.
Bahkan di beberapa daerah perajin mogok produksi karena tingginya harga kedelai. Sebagian perajin menyiasati dengan mengurangi ukuran dan terpaksa menaikan harga tempe dan tahu.
Imbas lainnya yaitu kenaikan harga tempe dan tahu serta produk olahannya seperti gorengan dan keripik. Akibatnya, pengeluaran rumah tangga juga meningkat.
“Tempe dan tahu ini sebenarnya lauk yang dapat disajikan dengan berbagai variasi dengan harga cukup terjangkau serta memiliki kandungan protein cukup baik sehingga menjadi pilihan bagi keseharian masyarakat,” ujar Subejo, SP., M.Sc., Ph.D, di Fakultas Pertanian UGM, Selasa (22/2).
Menanggapi krisis kedelai yang tengah terjadi, Subejo menuturkan krisis kedelai global dipicu oleh beberapa hal yaitu menurunnya produksi kedelai di Amerika Serikat dan Brasil sebagai penghasil utama kedelai dunia akibat La Nina serta meningkatnya impor kedelai oleh China. China saat ini, menurutnya, merupakan importir kedelai terbesar di dunia dimana tahun 2020 mengimpor 58 persen dari total ekspor kedelai Amerika Serikat.
Dosen Fakultas Pertanian dan Sekolah Pascasarjana UGM ini menjelaskan kedelai merupakan tipikal komoditas yang sangat sesuai dikembangkan di negara empat musim dan kurang optimal dikembangkan di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Tingkat produktivitas kedelai Indonesia sangat jauh dibandingkan dengan produktivitas di Amerika dan Eropa.
“Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat permintaan kedelai juga semakin meningkat, akibatnya impor kedelai tidak dapat dihindarkan,” ucapnya.
Maka cukup wajar jika impor kedelai jauh lebih besar dibandingkan kemampuan produksi nasional. Menyitir data BPS tahun 2019 beberapa tahun terakhir kebutuhan kedelai nasional sebesar 3,4-3,6 juta ton per tahun. Di sisi yang lain, kapasitas produksi kedelai paling tinggi hanya mendekati 1 juta ton.
Dengan kondisi tersebut maka setiap tahun diperlukan impor sebanyak 2,4-2,6 juta ton. Bahkan, pada tahun 2017 total impor kedelai mencapai 2,67 juta ton yang bernilai US$ 1,15 miliar dimana 2,63 juta ton berasal dari Amerika serikat.
“Rendahnya kapasitas produksi kedelai ini dapat dilihat dari data BPS pada 2019, dan dalam 5 tahun terkahir produksi tertinggi kedelai tahun 2016 dan 2017 sebesar 859.653 ton dan 538.728 ton, pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 982.528 ton,” katanya.
Menyitir pendapat Terzis Dragan dkk (2018) memperlihatkan rerata produktivitas kedelai tertinggi di dunia yaitu Amerika (3,1 ton/ha), disusul Oceania dan Eropa sebesar 2,14 ton/ha dan 2,08 ton/ha. Sementara rerata produktivitas kedelai di negara Asia hanya mencapai 1,45 ton/ha, dan data BPS tahun 2019 melaporkan produktivitas kedelai Indonesia sepanjang 2005-2015 hanya berkisar 1,3-1,5 ton/ha.
Oleh karena itu, menurut Subejo diperlukan terobosan untuk menekan impor kedelai secara signifikan dan menjaga stabilitas harga. Diperlukan program strategis melalui penguatan inovasi produksi.
“Inovasi pemuliaan benih kedelai yang produktif, adaptif terhadap perubahan iklim dan memilki citra rasa baik sangat urgen dilakukan,” jelasnya.
Salah satu inovasi yang dihasilkan oleh UGM dan perlu dikembangkan adalah benih kedalai hitam Mallika. Menurutnya, benih kedelai hitam Mallika ini cukup prospektif karena memiliki produktivitas tinggi, adaptif terhadap kekurangan air dan sesuai untuk daratan rendah dan sedang.
Bisa juga melalui inovasi UGM yang lain terkait dengan peningkatan produktivitas kedelai yaitu mikoriza. Melalui mikoriza dapat meningkatkan eksplorasi perakaran sampai ratusan kali volumenya sehingga penyerapan air dan nutrisi menjadi lebih baik yang membuat tanaman kedelai menjadi lebih subur.
“Selama ini harga kedelai lokal kurang atraktif bagi petani sehingga budi daya kedelai tidak menjadi prioritas karena tingginya kompetisi dengan komoditas pertanian yang lebih menguntungkan. Alternatifnya lakukan budi daya kedelai dengan memanfaatkan lahan perhutanan sosial serta pengembangan komoditas subtitusi kedelai,” paparnya.
Sebagai pengamat pertanian, ia mengusulkan inovasi pengembangan berbagai jenis kacang koro. Kacang yang telah diinisiasi sebagai subtitusi kacang kedelai, namun cita rasa dan kekhasan olahan tempe dan tahu berbahan kedelai dipandang berbeda dibandingkan olahan dari bahan substitusi.
“Isu perubahan taste dan pereferensi konsumen inipun juga menjadi hal yang tidak mudah,” ujarnya.
Subejo sangat berharap program insentif dari pemerintah untuk mendorong minat petani mengembangkan komoditas kedelai sehingga kapasitas produksi nasional meningkat. Program insentif ini sangat diperlukan dan dapat dikembangkan melalui pemberian subsidi harga, subsidi sarana produksi, pengadaan alat mesin dan introduksi tata niaga kedelai yang baik dan efisien serta penyuluhan dan pendampingan petani yang efektif.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Industri Kontan