Diperkirakan lebih dari 90% pengrajin dan industri tekstil di Indonesia masih menggunakan pewarna sintetis dalam memproduksi produk tekstilnya. Bahkan, bahan baku pewarna sintetis tersebut diimpor dengan kapasitas besar dan bernilai sangat tinggi. Padahal, pewarna sintetis yang mengandung gugus azo, amino aromatis, naftol, asam, basa, direct, dan senyawa reaktif lainnya sudah dilarang penggunaannya sejak 1 Juni 1996 karena pewarna tersebut bersifat karsinogen, yang sangat berbahaya bagi penggunanya dan bagi lingkungan.
Perlu diketahui, di awal abad 20, Indonesia merupakan penguasa pasar pewarna alami biru Indigo terbesar di dunia. Sebab, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah yang merupakan bahan baku pewarna alami dan sampai saat ini potensi tersebut belum termanfaatkan dengan baik. Bahkan, hampir di semua daerah di Indonesia memiliki budaya penggunaan pewarna alami dan sumber daya alam sebagai bahan baku pewarna alami. “Kita memiliki kekayaan sumber daya pewarna alami secara turun temurun,” kata peneliti pewarna alami UGM, Prof. Dr. Edia Rahayuningsih, M.S., usai peresmian mini plant pewarna alami di ruang multimedia, Gedung Pusat UGM, Selasa (22/2).
Edia mengatakan ia bersama 6 peneliti lainnya dibantu 3 peneliti dari mitra industri serta 25 mahasiwa tengah mengembangkan industri pemanfaatan potensi sumber daya alam untuk pewarna alami tersebut. Tim peneliti UGM yang tergabung dalam kelompok riset Indonesia Natural Dye Institute Universitas Gadjah Mada (INDI-UGM) melakukan program hilirisasi produk purwarupa atau teknologi bersama dengan mitra CV Karui Jayapura dengan membangun miniplant produksi serbuk pewarna alami dari limbah industri penggergajian dari kayu Merbau di Jayapura Papua. “Limbah dari hasil hutan ini sangat potensial digunakan sebagai sumber bahan baku industri pewarna alami,” katanya.
Sebagai ketua tim INDI UGM ini, Edia menyebutkan produk samping dan limbah dari hasil hutan di Papua bisa mencapai 20-40% dari total massa pohon. Sayangnya selama ini limbah ini belum dimanfaatkan secara optimal dan biasanya dibuang begitu saja ke lingkungan atau dibakar sehingga menjadi masalah di lingkungan.
Melalui pendanaan dari Kemendikbud pihaknya telah mengirim alat untuk miniplant bersumber dari Program Dana Padanan atau Matching Fund ke Papua. Tahun 2021 Batch 9 Kedaireka DIKTI dan dilaksanakan dengan pengawalan Direktorat Pengembangan Usaha dan Inkubasi UGM dan dana dari mitra. Pihaknya telah memproduksi alat untuk pengolahan serbuk alami tersebut yang dikelola oleh CV Karui Jayapura. “Serbuk pewarna alami ini bisa mencapai 1,4 kuintal per hari karena bahan baku melimpah,” katanya.
Edia berharap adanya miniplant produk serbuk pewarna alami pewarna alami ini diharapkan bisa dikembangkan ke tahap komersialisasi dari dukungan pemerintah, industri dan komunitas agar bisa digunakan oleh para pengrajin batik, industri tekstil dan mendukung program SDGs.
Selain dari bahan baku Merbau di Papua, menurut Edia, pewarna alami juga bisa dibuat dari bahan baku yang berasal dari tanaman indigofera, limbah kakao, limbah sawit, dan limbah kulit kayu mangrove.
Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., mengapresiasi peresmian dimulainya produk serbuk pewarna alami yang berlokasi di Jayapura, Papua tersebut yang bisa menggerakkan perekonomian masyarakat Papua karena bisa memasok bahan baku pewarna alami untuk pengrajin batik dan industri tekstil. “Pewarna alami ini bisa menjadi substitusi dari pewarna sintetis dan harapannya kita kedepan bisa menjadi eksportir untuk pewarna alami,” tegasnya.
Inisiator INDI UGM, Ika Dewi Ana, Ph.D., mengatakan sebelum menghasilkan miniplant produk serbuk pewarna alami, para peneliti selama ini sudah bekerja keras dalam mengembangkan teknik industri untuk menghasilkan pewarna alami yang berkualitas. “Dari mengorek sejarah, filosofi, dan teknik industri pewarna alam sampai meneliti kestabilan warna agar tidak cepat luntur. Saya kira inovasi pewarna alami ini menjadi bagian dari teknologi masa depan,” katanya.
Direktur CV Karui Jayapura, Alexander Sorondanya, S.Hut., mengaku sangat beruntung dan bersyukur sekali ketika diajak pertama kali bekerja sama dengan para peneliti UGM. Sebab, ia tidak menyangka jika limbah kayu Merbau yang dibuat begitu saja ternyata bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang berguna bagi industri tekstil. “Tidak terpikirkan sebelumnya. Setelah ketemu Bu Edia kita diberitahu tentang potensi Merbau bisa diolah menjadi zat pewarna alami,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson