Pakar Kebijkan Publik UGM, Dr. Agus Heruanto Hadna, menilai kebijakan pemerintah soal manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa dicairkan saat pekerja memasuki pensiun yakni di usia 56 tahun sebagai kebijakan yang tidak berbasis bukti dan data yang kuat. Situasi ini menyebabkan kebijakan yang diambil menyisakan sejumlah persoalan dan menuai gelombang kritik karena proses penyusunannya tidak berdasarkan pada evidence based.
“Kebijakan ini tidak evidence based dan dibuat tidak sensitif terhadap publik khususnya pekerja di sektor swasta,” tuturnya.
Ia mengatakan jika Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 02 Tahun 2022 tersebut dibuat seolah disamakan dengan usia pensiun PNS. Padahal, persoalan yang dihadapi dari para pekerja di sektor swasta berbeda dengan PNS ditambah dengan situasi lapangan kerja saat ini sangat labil dan penuh ketidakpastian.
Tidak sedikit pekerja di sektor swasta yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum masa pensiun dalam usia yang beragam. Kebijakan pemanfaatan JHT belum mampu menjawab permasalahan tersebut.
Hadna mencontohkan pada pekerja terkena PHK pada usia 45 tahun. Pekerja tersebut harus menunggu selama 11 tahun untuk bisa mencairkan JHT.
“Kondisi pekerja sektor swasta dimanapun itu tidak pasti sehingga penentuan batas usia ini sangat sulit bagi mereka. Seringnya kebijakan publik dibuat berdasar insting atau analogi kasus lain. Takutnya ini dianalogikan dengan PNS dan ini berbahaya kalau tanpa analisis mendalam,”urainya.
Hadna menjelaskan dalam kebijakan publik merupakan suatu hal lumrah apabila terdapat perubahan kebijakan. Kendati begitu, perubahan kebijakan menjadi sesuatu hal yang aneh ketika baru diterapkan lalu diganti lagi dalam waktu dekat.
“Jadi, aneh ketika baru diterapkan seminggu lalu diganti,” katanya.
Ia mengungkapkan perubahan kebijakan bukan hal yang baru di Indonesia. Sebelumnya hal serupa juga terjadi pada kebijakan ekspor batu bara. Kebijakan baru diterapkan namun satu minggu kemudian dicabut.
Kebijakan JHT, lanjutnya, merupakan kebijakan yang bersifat redistributif dan sangat sensitif. Sebab, di dalamnya banyak pihak kepentingan, banyak aktor yang terlibat, dan sangat kompleks.
“Ada satu resources yang seharusnya dimiliki karyawan dan pekerja tapi ibaratnya itu ditahan hingga usia 56 tahun baru bisa diambil. Ini masuk kebijakan yang redistributif dan sangat sensitif, serta berisiko tinggi jika diimplementasikan,” paparnya.
Penulis: Ika
Foto: bpjs ketenagakerjaan.go.id