Minggu ini, Mahkamah Konstitusi kembali menggelar uji materi UU Penodaan Agama. Banyak reaksi yang muncul seputar wacana akan adanya permohonan pencabutan undang-undang ini. Direktur Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya/CRCS UGM, Dr. Zainal Abidin Bagir, menyebutkan UU Penodaan Agama layak untuk dicabut karena keberadaannya bertentangan dengan konstitusi. “Meskipun niat yang tergambar dalam judul UU ini mengisyaratkan perlindungan negara terhadap umat beragama di Indonesia, tetapi dalam praktiknya tejadi ekses yang sangat merugikan,” jelasnya.
Menurut Bagir, yang menjadi pokok persoalan dalam UU No.1/PNPS/1965 ini dengan adanya penetapan “pokok-pokok ajaran agama” yang menjadi standar untuk mengukur penafsiran ataupun perbuatan menyimpang, tidak dapat menjadi alasan suatu tindakan hukum tanpa membebani pemerintah secara langsung atau tidak dengan otoritas keagamaan terlalu besar. Selain itu, undang-undang ini secara eksplisit melakukan diskriminasi karena hanya mengakui enam agama, yang berarti melanggar hak pemeluk keyakinan lain.
“Dari segi isi, undang-undang ini memiliki kelemahan pada ketidakmampuannya membedakan tindakan yang dapat dikriminalkan dengan sekadar perbedaan penafsiran atau dengan pernyataan dan tindakan yang dianggap keliru oleh suatu kelompok dalam agama-agama. Jadi, tidak ada alasan hukum yang bisa menghalangi dicabutnya UU ini,” katanya di Ruang Fortakgama UGM, Jumat (9/4).
Hukum yang melindungi pemeluk agama, imbuhnya, diperlukan untuk kasus yang jelas-jelas merupakan hasutan untuk kebencian, permusuhan/kekerasan atas komunitas agama. Dalam hal ini, menjadi tidak jelas apakah undang-undang penodaan agama menjaga ketertiban atau justru menjustifikasi ketertiban atas nama “penodaan” agama. “Apabila UU tersebut akan dicabut, seyogianya peraturan penggantinya dapat memilah hal-hal yang dapat dipidanakan dan apa yang bisa diterima sebagai perbedaan dalam suatu agama,” tegasnya.
Menanggapi beberapa pihak yang berkeberatan atas dicabutnya undang-undang ini karena dianggap akan semakin mendorong lahirnya ajaran sempalan dan aliran sesat di Indonesia, Suhadi Cholil, M.A., peneliti CRCS UGM, mengatakan perbedaan merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat direduksi, juga dijamin oleh konsensus umum dalam Pasal 29 UUD 1945. Jika perbedaan menjadi perselisihan, dialog merupakan jalan bagi masyarakat untuk memecahkan berbagai permasalahan.
Dikatakan Suhadi, “Jika UU ini benar-benar dicabut, masyarakat memang harus lebih toleran dalam menerima berbagai perbedaan. Apapun keputusan yang diambil MK akan menjadi keputusan historis untuk mulai memecahkan problem besar tentang hubungan negara dengan agama di Indonesia,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)