Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, Prof. Dr. Ana Nadhya Abrar, M.E.S., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam kajian Jurnalisme pada hari Kamis (10/3) di Balai Senat UGM. Pada pidato pengukuhan Guru Besar, Abrar menyampaikan pidato yang berjudul Menarik Garis Batas Jurnalisme dalam Penulisan Biografi. Menurutnya menulis biografi menjadi semacam pekerjaan kekinian. Apalagi sudah banyak orang yang getol memproklamasikan dirinya sebagai biograf. Banyak pula tokoh yang menyambut tawaran biograf tersebut.
Ia mengutip data penelitian Safari Daud terhadap 30 biograf di Indonesia, menunjukkan bahwa sebagian besar biograf berprofesi sebagai wartawan. Namun juga ada penulis biografi dari kalangan sejarawan, intelektual, aktivis, politisi, pensiunan tentara dan sastrawan. Abrar menyebutkan ada dua mantan wartawan yang bisa digolongkan sebagai biograf terkenal Indonesia yakni Ramadhan KH dan Alberthiene Endah.
Bagi Abrar, wartawan yang menulis biografi bertujuan untuk meningkatkan intelektualitas khalayak. Umumnya wartawan menjadikan bahasa sebagai alat interaksi antara dirinya dan khalayak. Namun begitu, wartawan dalam menulis biografi menggunakan teknis jurnalisme berkaitan dengan keterampilan menggunakan bahasa jurnalistik. Akan tetapi, bahasa jurnalistik sekalipun tetap memiliki ciri khas menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baku dan benar. “Lewat kemampuan itu seorang biograf harus menunjukkan keterampilannya menulis. Jika tidak terampil menulis, biografi yang mereka tulis tidak akan memperoleh sambutan yang hangat dari khalayak,” ujarnya.
Menciptakan narasi dan kisah biografi menggunakan bahasa jurnalistik, wartawan punya kesempatan yang luas untuk menghasilkan biografi yang mengutamakan nilai kemanusiaan. “Pengutamaan nilai kemanusiaan inilah yang menjadi batas kanan jurnalisme dalam penulisan biografi,” katanya.
Selain itu dalam teknik penulisan biografi, kata Abrar, diperlukan teknik pengumpulan fakta yang canggih. Teknik mengumpulkan fakta seperti ini dalam jurnalisme biasa disebut dengan investigasi. Lalu fakta yang diperlukan dengan menggunakan investigasi disebut jurnalisme investigasi. “Praktik jurnalisme investigasi ini semakin perlu mengingat tokoh yang dikisahkan memiliki ego yang besar. Ego yang inilah hendaknya dipahami sebagai perasaan, pikiran dan kesadaran, dia berbeda dengan yang lain,” jelasnya.
Dari sisi jurnalisme, tujuan akhir sebuah biografi adalah menyampaikan wacana yang terkandung dalam diri tokoh yang dikisahkan. Wacana yang lahir dari biografi ini menjadi penting disamping narasi yang berkualitas. “Dari sekian banyak wacana yang ditampilkan biografi, tentu ada wacana utama yang harus ditangkap oleh khalayak,” paparnya.
Namun begitu, semua wacana yang ditampilkan itu bertumpu pada bukti-bukti yang objektif. Bertolak dari bukti inilah seorang biograf memahami dan menjelaskan kenyataan yang ada. Bahkan ketika seorang biograf menggunakan teknis jurnalisme dalam bertutur tentang tokoh yang dikisahkan, dia tidak mengambil lebih dari peran sejarawan. “Dia hanya menampilkan pesona sejarah. Dia menampilkan fakta yang penting, menarik, dramatis dan mengandung human interest. Semua fakta ini mengisyaratkan pentingnya nilai kemanusian. Pengutamaan nilai kemanusaan ini menjadi batas kanan jurnalisme dalam penulisan biografi,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Firsto