Tahun ini tepat 150 tahun publikasi buku Max Havelaar karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker sejak diterbitkan untuk pertama kali pada tahun 1860. Buku yang bercerita tentang sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di daerah Lebak, Banten, ini menjadi satu buku terpenting dalam sejarah sastra Belanda, bahkan saat ini menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah Belanda.
Profesor Marita Mathijsen, staf pengajar Amsterdam University, menyebutkan Max Havelaar merupakan hasil karya yang unik dan mampu bertahan di tengah arus kesusastraan saat ini. Begitu banyak novel yang ditulis pada abad 19, tetapi sebagian besar terlupakan begitu saja. “Tidak ada novel yang benar-benar mempengaruhi kesusastraan Belanda serta opini masyarakat sekuat Max Havelaar,” katanya dalam acara “150 Tahun Max Havelaar” yang digelar Senin (12/4), di Gedung Purbatjaraka Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM.
Menurut wanita yang mendalami kajian literatur Belanda abad ke-19 ini, Max Havelaar merupakan roman yang inovatif dalam struktur naratifnya dengan jalan cerita yang memberikan kejutan bagi dunia sastra Belanda, yang saat itu masih terikat oleh adat bahasa lama. Multatuli menyisipkan puisi berbahasa non-Belanda dalam teksnya. Selain itu, pria yang pernah bekerja sebagai asisten residen pemerintah kolonial Belanda ini menggunakan kutipan karya sastra dalam menyampaikan pendapat terhadap suatu permasalahan. Kutipan tersebut dibiarkan dalam bahasa aslinya sehingga memberikan keanekaragaman bahasa dalam roman tersebut.
Kelihaian Multatuli dalam meramu cerita, merangkai karya sastra Melayu dan Hindia Belanda dalam satu kesatuan cerita memberikan warna sastra pada novel ini. “Max Havelaar adalah karya yang cukup unik baik dari segi etika serta estetika, sesuai dengan kesusastraan dunia saat ini,” terangnya. (Humas UGM/Ika)