Ekowisata, atau pariwisata berbasis sumber daya alam lokal dan berkontribusi pada korservasi kawasan, merupakan pasar besar untuk industri pariwisata kontemporer ini. Contohnya saja Rwanda yang terletak di Afrika. Pada tahun 2017 lalu, negara tersebut, dengan produk/antraksi berupa kawasan pegunungan, taman nasional, serta spesies satwa liar, berhasil dikunjungi 94.000 wisatawan dengan total pendapatan 18,7 juta dolar.
Apakah Indonesia bisa seperti itu? Banyak pihak mengatakan bisa. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang mumpuni untuk masuk ke dalam pasar yang menggiurkan tersebut. Indonesia memiliki 50 Taman Nasional berbasis tropis, memiliki biodiversitas yang sangat kaya, memiliki 6 situs warisan dunia, 6 jaringan cagar biosfer dunia, dan lain sebagainya. Sekarang tinggal bagaimana kita mengelolanya.
Saat ini, ekowisata sudah mulai dikembangkan di berbagai desa wisata di Indonesia. Menurut data yang dihimpun Kementrian Parekraf tahun 2021, lebih kurang telah ada 1.831 desa wisata yang tersebar di seluruh Indonesia.
Lantas bagaimana agar membuat sukses semua itu? Guru Besar Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PsDK) FISIPOL UGM, sekaligus Kepada Pusat Studi Pariwisata UGM, Prof. Dr. Janianton Damanik, M.Si., menuturkan tujuh tren produk ekowisata yang kemudian ditangkap sebagai kunci penting untuk menciptakan desa ekowisata bernilai tinggi.
Tren tersebut antara lain memiliki safari dan cagar alam lokal yang terjaga kelestariannya berkarakter nir limbah.
“Itu menjadi internasional value bagi setiap ekowisatan, semakin zero waste maka akan semakin dinikmati,” tutur Prof. Janianton dalam webinar ‘Pengembangan Ekonomi Kreatif dalam Mendukung Pariwisata’ yang diselenggarakan oleh KAGAMA dan disiarkan melalui kanal youtube KAGAMA Channel pada Minggu, (20/3).
Selain itu, penggunaan transportasi hijau (kereta, mobil listrik, dll), penggunaan sumber energi baru dan terbarukan, produk yang ditawarkan desa harus eco certification serta tersedianya menu makanan berbasis alam/organik.
Prof. Janianton mengatakan bahwa para ekowisatawan sangat kritis terhadap isu lingkungan, sehingga penggunaan moda transportasi ramah lingkungan di desa wisata sangat memberikan nilai tambah.
“Apapun produknya, mau kita punya air terjun terbesar dan terindah misalnya, itu belum tentu menjadi magnet (wisata) yang sangat kuat. Tapi kalau dia (antraksi) sudah eco-certificate, artinya ada sertifikasi ekowisata disana, nah itu yang mereka (ekowisatan) perlu,” jelas Prof. Janianton.
Satu hal lagi yaitu adanya program pro pemberdayaan perempuan.
Prof. Janianton pun mengungkapkan bahwa isu pemberdayaan perempuan sangat mengemuka di dunia global. Sejalan dengan itu telah tercatat bahwa banyak wisatawan yang membeli produk-produk lokal buatan perempuan. Tampak ada niat bagi para wisatawan untuk mendukung pemberdayaan perempuan di desa-desa.
Dalam webinar tersebut Prof. Janianton turut memaparkan langkah-langkah strategis untuk membangun desa ekowisata kedepannya. Untuk mengetahui lebih jauh, silahkan tonton rekaman webinar melalui tautan disini.
Penulis: Aji