Departemen Hukum Islam, Fakultas Hukum UGM menyelenggarakan Kolaborasi Penyuluhan Hukum dengan Pengadilan Agama Sleman, DIY dengan tema “Status Anak dan Persoalan Hukumnya di Indonesia” secara daring melalui Youtube Kanal Pengetahuan FH UGM pada Jumat, (25/3).
Pada sesi pertama, Dr. Hartini, S.H. M.Si., Dosen Fakultas Hukum UGM, lebih banyak membahas mengenai status anak dalam hukum perkawinan khususnya hukum perkawinan Islam yang ada di Indonesia.
“Pengaturan mengenai status anak ini sangat-sangat berviariasi, antara lain diatur dalam UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU Administrasi Kependudukan, KUH Perdata, Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991), SEMA/PERMA, Putusan Mahkamah Konstitusi, Fatwa MUI, dan lain sebagainya,” papar Hartini.
Anak di Indonesia menurut Hartini masih dikualifikasi berdasarkan status perkawinan atau kedudukan-kedudukan tertentu.
“Kalau kita lihat status anak dilihat dari status perkawinan orang tuanya, itu ada yang disebut dengan anak sah (anak dari perkawinan yang sah), dan ada juga anak yang lahir di luar perkawinan (anak lahir dari perkawinan tidak certatat dan anak lahir dari hubungan tanpa pernikahan). Status anak juga bisa di kualifikasi tanpa hubungan darah dengan orang tua dan ditetapkan oleh pengadilan, misalnya anak angkat dan anak Istilhaq (pengakuan terhadap seorang anak sebagai anaknya yang sah),” ujar Hartini.
Hartini memberikan catatan penting mengenai hak-hak anak dalam beberapa kondisi.
“Pertama, batas usia anak masih berbeda-beda yang berimplikasi pada beberapa persoalan. Sebenarnya kapan berakhirnya perwalian anak? Lalu, kapan berakhirnya pemeliharaan anak? Pada usia 21 tahun atau 18 tahun? Karena disini ada ketentuan KHI vs. UU Perlindungan Anak, dll. Kedua, perlu memperhatikan regulasi terbaru yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung mengenai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 02 Tahun 2019,” tuturnya.
Sebagai penutup, Hartini juga menyampaikan eksistensi Pasal 42 UU Perkawinan, Pasal 99 KHI, dan Pasal 53 KHI sebagai ketentuan hukum negara, dalam beberapa hal belum sepenuhnya berhasil mengatasi perbedaan pendapat karena masih terdapat ganjalan terkait dengan “rasa/nurani hukum yang belum sesuai.
Pada sesi kedua, Juharni, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama Sleman, memaparkan persoalan hukum anak dari sisi praktis.
“Pengadilan agama berwenang untuk menerima, memeriksa, dan mengadili terkait masalah-masalah atau permohonan penetapan tentang anak sah/yuridis dan anak biologis, hak-hak anak dari orang tuanya, dari orang tuanya yang bercerai, dari orang tuanya yang meninggal, masalah perwalian, dispensasi kawin, masalah pengangkatan anak, masalah pengakuan/ pengesahan anak, masalah pengingkaran anak, dan sebagainya,” papar Juharni.
Selanjutnya, Juharni menuturkan bahwa penelantaran anak termasuk tindakan KDRT. UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT menempatkan anak sebagai bagian dari keluarga sebagai subjek yang harus dilindungi dan dicukupi kebutuhannya oleh orang tuanya.
“Penelantaran terhadap anak dapat dikategorikan sebagai tindakan KDRT yang diancam dengan hukuman pidana,” ujar Juharni.
Diskusi lengkap mengenai “Status Anak dan Persoalan Hukumnya di Indonesia” dapat Anda saksikan disini.
Penulis: Desy