Kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu persoalan utama yang perlu diselesaikan di Tanah Papua. Merespons permasalahan tersebut Gugus Tugas Papua (GTP) UGM secara serius telah melaksanakan fungsi advokasi dan pendampingan bagi orang asli Papua melalui berbagai cara.
Salah satunya dengan pengiriman Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) di Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Mappi. Tak hanya itu GTP Papua juga melakukan pendampingan bagi mahasiswa dan calon mahasiswa asal Papua yang akan berkuliah di UGM.
“Proses pendampingan yang saat ini sudah berjalan berasal dari Kabupaten Puncak dan Mappi”, ungkap Gabriel pada acara Sarasehan Mahasiswa UGM asal Provinsi Papua dan Papua Barat yang diselenggarakan secara online pada Selasa, (12/4). Acara tersebut diinisiasi untuk mendengar aspirasi mahasiswa asal Papua dan memberikan umpan balik ke pihak kampus.
Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono,M.Eng., D.Eng., IPU.,ASEAN Eng., dalam sambutannya menyampaikan apresiasi terhadap penyelenggaraan forum tersebut. Menurutnya, forum sarasehan ini bisa menjadi wadah mahasiswa asal Papua menyampaikan aspirasinya.
“Kampus akan mendengarkan langsung harapan adik-adik mahasiswa asal Papua. Apabila hal-hal yang disampaikan tidak menyalahi regulasi, pasti akan kita tindaklanjuti. Kita ingin Papua bisa mempercepat laju pembangunan untuk mensejajarkan dengan provinsi lain di Indonesia,”terang Rektor.
Arinus Wantik salah satu mahasiswa Fakultas Teknik merespons baik acara tersebut. Menurutnya, mahasiswa asal Papua sering memiliki keluhan, tetapi takut dan bingung menyampaikan keluhan tersebut. Forum sarasehan menurutnya bisa menjadi salah satu cara untuk mendengarkan keluhan mahasiswa asal Papua.
“Selain itu, kami kadang juga kesulitan menyesuaikan diri di kampus, sehingga sampai ada yang pulang. Kampus mungkin bisa memberikan matrikulasi bagi mahasiswa baru asal Papua karena di pedalaman dan kota sangat jauh kualitasnya dan tidak setara,” ucapnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Austien Elsa Firgina Kamodi. Menurutnya, kampus perlu membuat wadah untuk konsultasi bagi mahasiswa asal Papua baik tentang permasalahan akademik, non-akademik, maupun terkait mental health.
“Jadi, di sini saya rasa jasa psikolog sangat penting untuk dapat dimanfaatkan oleh teman-teman mahasiswa asal Papua. Terutama yang berkaitan dengan mental health tersebut,” ungkap Austien di kolom chat zoom.
Berbagai catatan keluhan dan masukan langsung direspons oleh Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan UGM, Prof. Djagal Marseno. Menurutnya, berbagai masukan tersebut akan ditindaklanjuti oleh pihak kampus.
“Terkait banyaknya keluhan, kampus sedang menyusun unit pelayanan terpadu yang akan menampung keluhan akademis maupun non-akademis. Nantinya ada tim kecil yang akan menangani sesuai kasusnya,” ungkap Djagal.
Hal yang sama juga ditekankan oleh Direktur Kemahasiswaan UGM, Dr. Suharyadi. Menurutnya, Ditmawa telah mempunyai layanan bagi mahasiswa yang memiliki kendala akademis maupun non-akademis.
“Kendala akademis ada pendampingan dari kakak tingkat. Non-akademis juga ada unit reaksi cepat psikologis. Ini dapat diakses gratis,” pungkasnya.
Acara sarasehan yang mengangkat tema “Mewujudkan Kecerdasan Akademik, Emosional, dan Sosial Guna Tercapainya Kesuksesan Studi di UGM” tersebut turut dihadiri Peneliti Gugus Tugas Papua UGM, Ditmawa UGM, Seksi Pengelolaan Beasiswa, dan mahasiswa asal Papua dan Papua Barat dari berbagai prodi di UGM.
Penulis: Ika