Di seluruh Indonesia, tren peningkatan frekuensi dan intensitas curah hujan ekstrem telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir seiring peningkatan suhu. Kondisi ini tentu menuntut masyarakat dan banyak pihak untuk bisa beradaptasi dengan perubahan tersebut agar bisa mengurangi risiko bencana.
Dr. Emilya Nurjani, S.Si., M.Si, peneliti sekaligus pengamat iklim dan lingkungan Universitas Gadjah Mada, mengatakan setahun terakhir, Indonesia memang mengalami La Nina sehingga curah hujan di wilayah sebagian Indonesia cenderung lebih basah sepanjang tahun (2021). Disamping itu, di awal tahun 2022 Indonesia juga mengalami monsoon Asia dan ITCZ yang meningkatkan curah hujan.
“Beberapa waktu lalu ada siklon di perairan Australia yang juga berpengaruh terhadap curah hujan di wilayah Indonesia bagian selatan,” ujarnya, di Fakultas Geografi UGM, Rabu (20/4).
Kondisi tersebut apakah masih dalam kategori normal, menurut Emilya, untuk mengukurnya perlu melakukan upaya dengan membandingkan data curah hujan bulanan tahun 1980-2010 sebagai tahun baku iklim menurut WMO. Berdasarkan pembandingan tersebut di sebagian wilayah Jawa memang sebenarnya telah mengalami pertambahan sebesar 40-120 mm dalam 20 tahun.
Bahkan lebih jauh untuk pulau Jawa dengan mempergunakan analisis persentil memperlihatkan banyaknya wilayah yang mengalami peningkatan curah hujan harian. Metode ini tentunya berbeda dengan penentuan hujan ekstrem BMKG (fixed threshold).
“Hasil analisis memperlihatkan bahwa perkotaan di pulau Jawa mengalami lebih banyak frekuensi hujan ekstrem dibandingkan daerah perdesaan,” katanya.
Ia menjelaskan curah hujan di suatu wilayah secara geografis dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain elevasi atau ketinggian tempat/wilayah, jarak dari sumber air, barisan pegunungan serta luasan daratan dan perairan (secara lokal). Ada juga faktor regional seperti Monsoon, ENSO, DMI, Jullian-Madden Oscillation, juga Inter Trade Convergen Zone (ITCZ) dan Siklom Tropis.
Faktor regional ini sering menimbulkan hujan tinggi/lebat bahkan hujan ekstrem di Indonesia. Beberapa kejadian hujan ekstrem di Indonesia berhubungan dengan siklon tropis (Dahlia, Cempaka, Seroja) meningkatkan hujan hingga 340 mm/hari (curah hujan sebesar ini biasanya turun dalam 1 bulan).
Dijelaskan pula fenomena regional yang berpengaruh terhadap hujan ini mempunyai periode ulang yang semakin sering. Hal ini diperlihatkan dengan durasi waktu yang lebih pendek dibanding 20 tahun yang lalu.
“Seperti ENSO, dulu periode kejadian sekitar 5,7,9 tahunan, sekarang lebih singkat 3,5 tahunan. Hal ini ditengarai oleh perubahan iklim yang di sebabkan oleh pemanasan global yang melanda seluruh dunia,” jelasnya.
Lebih lanjut Emilya mengungkapkan secara lokal suhu udara yang tinggi akan menyebabkan peningkatan evaporasi/evapotranspirasi dan lingkungan atmosfer yang sesuai akan meningkatkan pembentukan awan-awan vertikal yang berpotensi menghasilkan hujan yang cukup tinggi dalam waktu yang singkat. Curah hujan ekstrem yang berlangsung lama biasanya akan menimbulkan genangan kemudian banjir di daerah dataran rendah atau cekungan, dan di daerah sekitar perbukitan atau pergunungan berpotensi menimbulkan longsor.
Sementara di daerah perbukitan atau pegunungan yang rusak terkadang dapat menimbulkan banjir bandang. Dampak yang ditimbulkan tentu merugikan masyarakat baik harta benda bahkan jiwa serta menimbulkan gangguan kesehatan.
“Karenanya masyarakat perlu diedukasi tentang pola hujan yang mulai mengalami perubahan. Karena perubahan ini tidak hanya dirasakan masyarakat tertentu tetapi juga semua masyarakat, misal di bidang pertanian dapat menimbulkan kerusakan padi sehingga tidak jadi panen, petani kopi yang akan turun hasil produksinya atau petani tembakau jika hujan ekstrem terjadi di musim kemarau,” ungkapnya.
Emilya mengakui daerah perkotaan mempunyai frekuensi kejadian hujan ekstrem lebih sering karena suhu udara yang lebih tinggi di kota menyebabkan potensi pembentukan hujan konvektif dengan awan-awan konvektif yang mengandung uap air yang banyak (Cumulonimbus). Kondisi seperti ini tentu tidak hanya dialami di Indonesia, tetapi hampir di semua belahan dunia mengalami fenomena yang sama.
Beberapa catatan peristiwa yang bisa diambil antara lain curah hujan ekstrem di China yang menimbulkan banjir, hail (hujan es batu) di negara-negara Eropa, musim dingin yang lebih ekstrem, banjir di New South Wales Australia akibat hujan yang terus menerus, banjir di negara-negara Eropa. Meskipun semua itu bukan sepenuhnya akibat perubahan Iklim.
Oleh karena itu, penting bisa memahami iklim di masa depan. Pemahaman dengan menggunakan analisis proyeksi perubahan iklim berupa analisis terhadap data observasi (historis) dan baseline data lingkungan ( pendekatan bottom up), dan keduanya menggunakan hasil data simulasi GCM (global climate model) yang terkait dengan skenario perubahan kondisi lingkungan (top down).
“Dari model global yang ada, hingga tahun 2100 terjadi kecenderungan peningkatan suhu akibat pemanasan global. Adapun proyeksi hujan tidak memperlihatkan adanya tren linier, lebih menunjukkan adanya pola osilasi,” tuturnya.
Emilya menuturkan dari analisis yang pernah dilakukan memperlihatkan periode 2030 dan 2080 untuk tahun normal dan tahun kering memperlihatkan fluktuasi yang ekstrem. Karenanya yang perlu mendapat perhatian adalah adanya kecenderungan semakin terkonsentrasi curah hujan di bulan-bulan Desember dan Januari.
“Artinya musim-musim basah dan kemarau di Indonesia akan sering terjadi berfluktuasi, ada beberapa kejadian ekstrem dengan suhu yang terus meningkat,” paparnya.
Ia menandaskan perubahan iklim akan memengaruhi banyak sektor kehidupan masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Karenanya perlu melakukan mitigasi dan adaptasi.
COP 21 di Perancis atau yang dikenal sebagai Paris Agreement telah memberikan dasar-dasar bagi seluruh negara untuk secara ketat mengurangi emisi karbon dengan cepat, untuk menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi dibawah 2 derajat celcius dan berupaya menekan hingga 1,5 derajat celcius. Sementara pemerintah Indonesia mempunyai target penurunan karbon sebesar 29 persen (as usual bussiness) dan 41 persen jika mendapat dukungan internasional di tahun 2030.
“Memang perlu langkah nyata, dan pemerintah RI sudah meratifikasi Paris Agreement pada tanggal 24 Oktober 2016 dan menuangkannya bentuk implementasi dalam Nationally Determined Contribution untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon. Karenanya kita sebagai warga negara sangat diharapkan mendukung upaya pemerintah dalam penurunan emisi karbon dengan tindak dan perilaku nyata sehari-hari yang bisa kita lakukan,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Republika