Gunung meletus, tsunami, gempa bumi, dan lain sebagainya itu sebetulnya hanyalah fenomena-fenomena alam. Namun ketika di daerah tempat terjadi fenomena-fenomena alam itu hidup manusia-manusia, diksi fenomena alam tersebut seketika berubah menjadi bencana alam. Akibatnya, bencana alam dapat berarti fenomena alam yang memberikan dampak kepada kehidupan manusia.
Menilik lebih jauh, dampak fenomena alam pada kehidupan manusia ternyata juga tidak dapat kita sama ratakan. Oleh karena adanya struktur masyarakat yang membagi pekerjaan berdasarkan jenis kelamin contohnya, dampak fenomena alam pada kehidupan masyarakat nyatanya juga berbeda-beda.
“Bencana punya dampak yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki,” kata dosen Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, UGM, Dr. Suzie Handajani, M.A., dalam “Forum Pemajuan Kebudayaan GSMS (Gerakan Seniman Masuk Sekolah) dan Petunra (Pertunjukan Rakyat) dengan Tema ‘Bangun Budaya Sadar Bencana, Minimalkan Risiko Bencana’” yang diselenggarakan oleh SV UGM, bekerja sama dengan Kementrian Informasi dan Informatika RI, pada Kamis, (21/4).
Dr. Suzie mengatakan bahwa pada saat terjadi bencana, kelompok-kelompok termaginalkan seperti perempuan bahkan mendapatkan dampak layaknya “multiple burden”.
Ia memberi contoh dengan apa yang terjadi dalam bencana tsunami di India tahun 2004. Suzie menceritakan tentang sebuah desa nelayan dengan warga laki-laki berprofesi sebagai nelayan sedangkan perempuan di rumah. Pada saat bencana tsunami datang, warga yang langsung terpapar bencana adalah warga perempuan, sebab warga laki-laki tengah berlayar di tengah lautan yang riak ombaknya lebih tenang. Tidak hanya itu, walau desa tersebut adalah nelayan, perempuan yang hanya tinggal di daratan ternyata juga tidak bisa berenang. Alhasil tampak bahwa perempuan menghadapi dua lapis dampak berbeda daripada laki-laki.
Hal serupa juga tampak terjadi di Indonesia, pada saat bencana tsunami Aceh 2004, erupsi gunung berapi, dan lain sebagainya misalnya, dampak yang dialami perempuan juga tidak sama dengan laki-laki. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, perempuan mempunyai peran sebagai “ibu” dimana bertanggung jawab merawat anak-anak. Bahkan perawatan kepada sesepuh di atas rumah pun juga umumnya dilimpahkan kepada perempuan. Oleh karena peran tersebut, dapat dibayangkan bagaimana beban yang diterima oleh perempuan pada saat terjadi bencana alam.
Namun, Suzie menyayangkan perbedaan tersebut belum terbaca oleh masyarakat sehingga ketika melakukan mitigasi bencana, kemudian pada saat penanganan bencana, serta penanganan pasca bencana, perempuan kerap tidak mendapat hal-hal yang mereka butuhkan sebab penanganan disamaratakan saja dengan laki-laki. Contohnya, untuk seorang ibu dengan seorang anak bayi tentu membutuhkan kebutuhan seperti popok bayi yang banyak dan lain sebagainya, belum lagi kebutuhan perempuan secara pribadi layaknya pembalut, bra, dan lain-lain.
“Pas pengungsian walau sudah ada pemisahan laki dan perempuan, tapi perempuan-perempuan itu tidak diberi akses kepada hal-hal yang menjadi kebutuhan kebutuhan mereka, jadi misalnya ada ibu-ibu yang bawa anak kecil, ada yang baru melahirkan, terus butuh popok banyak, kemudian mereka perempuan sendiri juga butuh pembalut, butuh bra, dan lain sebagainya,” jelasnya.
Oleh karena itu, kedepan Suzie berharap penanganan bencana, baik dari mitigasi sampai pasca bencana, upaya yang dilakukan dapat ramah terhadap gender. Untuk mewujudkannya, perempuan sebaiknya diikutsertakan dalam pembahasan serta perancangan di berbagai level kebijakan dan kegiatan penanganan bencana sehingga kebutuhan-kebutuhan perempuan juga turut dapat terpenuhi dan perempuan dapat terlindungi dari ancaman-ancaman lain, seperti kekerasan seksual pada saat pengungsian.
“Tidak menutup kemungkinan bahwa di area pengungsian itu juga terdapat kekerasan seksual,” pungkasnya.
Penulis: Aji