Beberapa penelitian menunjukkan, dalam kepemimpinan menghadapi Covid-19, pemimpin perempuan dianggap dapat merespons Covid-19 dengan lebih baik. Komunikasi publik yang baik serta kemampuan kolaboratif menjadikan pemimpin wanita dianggap lebih tanggap merespons Covid-19. Hal ini tentunya dapat dicapai jika seorang perempuan mendapatkan kesempatan yang sama baik dalam berpendidikan dan berkarier.
Dalam lingkup pendidikan, dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya, perempuan mendapatkan fasilitas pendidikan yang lebih layak. Ini dapat juga tercermin dari adanya keseimbangan komposisi perempuan dan laki laki di berbagai sekolah dan perguruan tinggi.
“Hal tersebut menandakan hal yang baik namun masih terdapat beberapa PR yaitu pendidikan perempuan ini dampaknya belum sampai kepada kesejahteraan atau peluang kiprahnya dalam pekerjaan,” ungkap Prof. dr. Ova Emilia, MMedEd,PhD, SpOG(K) dalam Talkshow Kartini Masa Kini: Peran Perempuan Menuju Endemi CHBP FK-KMK UGM pada Jumat (21/4).
Artinya, Ova menjelaskan, perempuan saat berkarier memiliki berbagai tantangan dilema. Yang mana dilema ini menghambat peningkatan karier perempuan sehingga fokus kesetaraan ini seharusnya lebih dari sekedar pendidikan yaitu hingga mendapat kesempatan yang sama dalam berkarier bagi perempuan.
Secara data, pendidikan sudah dapat memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan. Ironisnya, jika melihat data lebih mendalam masih terdapat kesenjangan pendidikan bagi perempuan di beberapa daerah. Faktor sosial, budaya, ekonomi dan geografis masih menjadi alasan adanya kesenjangan pendidikan bagi perempuan.
“Salah satunya adalah pernikahan usia dini yang menghambat perempuan mendapatkan pendidikan dan berkarier,” ungkap Ova.
Pernikahan dini dan hubungan seks bebas di bawah umur ini menyempitkan kesempatan perempuan untuk dapat melanjutkan pendidikannya dan kariernya. Ova menjelaskan perlu ada beberapa regulasi yang terkait dengan hal tersebut. Namun, yang terpenting adalah upaya pencegahan. Edukasi publik terkait pernikahan dini perlu ditekankan pada berbagai unit masyarakat.
“Berdasarkan data terakhir, di Indonesia 67% wilayah darurat pernikahan dini dengan berbagai alasan,” ungkap Ova.
Terhambatnya hak untuk pendidikan, kerentanan kekerasan dan pelecehan meningkat, serta hilangnya hak kesehatan menjadi dampak negatif dari adanya pernikahan dini yang akan dialami oleh perempuan. Disamping itu, kemungkinan kematian anak dalam kandungan juga akan dihadapi oleh ibu usia dini. Tak hanya sampai di situ, generasi yang dihasilkan memiliki kerentanan prematur, kurang gizi, dan stunting yang tinggi.
“Ini kewajiban kita semua untuk bisa mencegah mempromosikan pernikahan usia dini,” tutur Ova.
Penulis: Khansa