Sosiolog UGM, Dr. Andreas Budi Widyanta, S.Sos., M.A., mengatakan momen Idulfitri sebagai bagian dari upaya memperkuat kohesi sosial di masyarakat setelah dua tahun tradisi mudik tidak digelar karena pandemi Covid-19. Menurut Widyanta, momen mudik lebaran dengan bermaaf-maafan dan berkunjung ke keluarga besar bukan hanya dirayakan oleh umat muslim saja, namun juga oleh umat agama lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika jumlah pemudik sekarang ini cukup besar karena kerinduan orang untuk berkumpul kembali dengan saudaranya. “Idulfitri bisa menjadi momentum bersama untuk memperkuat ikatan solidaritas sosial dan kohesi sosial dan solidaritas sosial,” kata Widyanta, Selasa (11/5).
Dilarangnya tradisi mudik selama dua tahun, katanya, menjadikan jumlah pemudik yang melakukan perjalanan pulang kampung halamannya melampaui rekor jumlah pemudik di tahun tahun sebelumnya karena ada kerinduan bersama bukan hanya umat Islam tapi juga umat yang lain. “Kerinduan itu terasa, ada perjumpaan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan beragama menjadi kerinduan bersama,” paparnya.
Bagi Widyanta, tradisi mudik bukan hanya perayaan umat muslim saja, sebab sudah ada tradisi di masyarakat kita saat momen lebaran saling kunjung mengunjungi dan saling memaafkan dengan sesepuh serta dengan tetangga sekitar. Oleh karena itu, mudik tahun ini menurutnya menjadi momentum membangun kebersamaan sosial, menguatkan tali sosial kekeluargaan serta tali kehidupan bersama. “Nyata betul arus mudik jumlahnya sangat luar biasa bukti hati kita dilekatkan kembali setelah dua tahun tidak berjumpa, tidak bertemu, kini bisa saling bertegur sapa dan mendiskusikan banyak hal,” katanya.
Idulfitri menurutnya sebagai bentuk untuk merayakan universalitas dari perayaan keragaman menjadi bagian perayaan bersama. Sebab, ada perjumpaan sosial lintas keagamaan, suku, etnis, bahasa, menjadi arena milik bersama membangun semangat kolegial dan kolektif sesama anak bangsa. “Syawalan adalah momen membangun kekeluargaan yang plural, saling menghargai perbedaan yang ada, memperkuat bangunan bangsa, rumah besar bernama Indonesia,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson