Geliat mempromosikan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua ASEAN belakangan ini menguat kembali. Momentum kebangkitan nasional 20 Mei 2022 menjadi waktu yang tepat untuk mengaktualisasikan praktik penggunaan bahasa Indonesia di kawasan ASEAN ini.
Menurut Dr. Sailal Arimi, S.S., M.Hum, staf pengajar Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya UGM, aktualisasi bahasa Indonesia di panggung internasional ini bisa dilihat dari sekurang-kurangnya empat perspektif, yaitu historisitas, legalitas, statistik, dan vitalitas sosiolinguistiknya. Dari perspektif historisitas, bahasa Indonesia lahir dan berkembang dari bahasa Melayu Riau yang embrionya diusulkan pada 1926 lalu ditetapkan oleh pemuda Indonesia dari berbagai wilayah nusantara menjadi butir terpokok dari 2 butir lain Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yaitu, “Kami putera puteri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Dalam konteks ini, maka bahasa Indonesia sebelumnya telah menjadi bahasa penghubung antarsuku bangsa, bahasa transaksi perdagangan, dan bahasa pergaulan (lingua franca). “Fungsi bahasa Indonesia sejak ini berkembang luas di nusantara yang wilayahnya tidak hanya terbatas pada geopolitik Indonesia sekarang ini, tetapi mencakup semenanjung Malaya, Thailand Selatan, Brunei, dan Filipina Selatan,” ujarnya di FIB UGM, Kamis (19/5).
Dari perspektif legalitas, Sailal Arimi mengungkapkan bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara sebagaimana dikukuhkan dan dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 36. Landasan yuridis formal ini diperkuat dan dijabarkan dalam UU No.24 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah No. 57 Thn 2014, dan Peraturan Presiden No 63 Tahun 2019 serta Permendikbud No 42 Tahun 2018.
“Nalar konstitusi ini menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa resmi negara, untuk kemudian dikembangkan fungsinya sebagai bahasa Internasional,”katanya.
Landasan yuridis formal tersebut di atas saling menguatkan aturan hukum pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional itu. Bahkan pada bagian ke empat UU No. 24 Tahun 2009 tentang “Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional” misalnya mencantumkan Pasal 44 yang mengundangkan bahwa pemerintah meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
“Dalam upaya peningkatan fungsi bahasa Indonesia, pemerintah telah membentuk lembaga kebahasaan untuk fungsi koordinasinya. Pada Pasal 11 PP No. 57 Thn 2014 juga ditandaskan bahwa pengembangan bahasa Indonesia dilakukan untuk memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara, dan meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional”,”katanya.
Sementara itu, dari perspektif statistik maka pengguna bahasa Indonesia mencapai lebih 300 juta penutur di dunia. Jumlah penduduk Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia saja telah melebihi 250 juta jiwa dari penduduk Indonesia yang tercatat lebih dari 272 juta.
Bahasa Indonesia, sebut Sailal, juga menjadi variasi dialektal di kawasan serantau seperti di Malaysia yang berpenduduk 33 juta, Thailand Selatan, Brunei, Singapura, Filipina Selatan, Suriname, dan berbagai diaspora Indonesia di dunia seperti di Amerika, Kanada, Jepang, Korea, Timur Tengah, dan sebagainya.
Sedangkan dari perspektif vitalitas bahasa senyatanya bahasa Indonesia telah menumbuhkan fungsinya sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara juga telah berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa (lih UU No.24 Thn 2009).
Dalam pandangannya, situasi kebahasaan yang menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai domain ini telah menempatkan peran bahasa Indonesia lebih tinggi daripada bahasa lokal nusantara termasuk bahasa Melayu Riau itu sendiri. Fakta sosiologis ini mengukuhkan eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa yang statusnya tinggi, aman, dan luas pemakaiannya.
“Saat ini saja ada 428 lembaga penyelenggara pembelajaran BIPA yang tersebar di 47 negara di dunia. Jumlah pembelajar BIPA ini terus meningkat dari tahun ke tahun,” tuturnya.
Dengan ke empat perspektif tersebut di atas, Sailal Arimi menandaskan sudah selayaknya bahasa Indonesia terus digaungkan dan dikembangkan fungsi dan perannya sebagai bahasa nasional di Indonesia dan bahasa internasional di kawasan ASEAN sekurang-kurangnya. Seiring dengan meluasnya pemakaian bahasa Indonesia ini dan menguatnya peran ekonomi, politik, diplomasi kebudayaan Indonesia, semakin kukuh dan meningkat pula vitalitas bahasa Indonesia ini.
Terkait dengan keingan tersebut maka dalam rangkaian Dies ke-76 Fakultas Ilmu Budaya UGM akan menggelar seminar daring bertema “INDONESIA DAN KEINDONESIAAN DI PANGGUNG INTERNASIONAL”. Seminar digelar pada hari Jumat, 20 Mei 2022 dengan menghadirkan sejumlah narasumber diantaranya Ganjar Pranowo, S.H., M.I.P. selaku Ketua Umum Kagama, Gubernur Jawa Tengah, Prof. Dr. Mahsun, M.S. selaku Mantan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Hilmar Farid, Ph.D selaku Sejarawan, Dirjen Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra M.A., M.Phil selaku Pakar Ilmu Budaya FIB UGM, dan Prof. Dr. Muchtar Mas’oed selaku Pakar Hubungan Internasional UGM. Pembicara lainnya adalah Prof. Dr. Agustinus Supriyanto, S.H., M.Si selaku Pakar Hukum Internasional UGM, Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA selaku Kepala Pusat Bahasa FIB UGM, Dr. Liliana Muliastuti, M.Pd selaku Ketua APPBIPA/Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia bagi Orang Asing, Dr. Pujiharto, M.Hum selaku Ketua Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FIB UGM; Ketua FORPROSSI—Forum Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia se-Indonesia dan Dr. Adrian Budiman selaku Direktur ACICIS: Australian Consortium For In Country Indonesian Studies.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : EduCenter