Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB), Universitas Gadjah Mada, Prof. Mahfud Sholihin, SE., M.Acc., Ph.D., dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Ilmu Akuntansi pada, Rabu (8/6)di ruang Balai Senat, Gedung Pusat UGM. Pada upacara pengukuhan jabatan Guru Besar, Mahfud Sholihin menyampaikan pidato yang berjudul Inovasi Pembelajaran Etika Bisnis dan Profesi Akuntansi di Era Digital.
Menurut Mahfud Sholihin persoalan etika di dunia bisnis dan profesi akuntansi masih terus terjadi hingga sekarang ini, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Kasus di luar negeri yang paling populer adalah kasus Enron dan WorldCom yang telah menggemparkan dunia bisnis karena juga melibatkan salah satu kantor akuntan besar di dunia. Sementara kasus di dalam negeri adalah kasus PT Garuda Indonesia Tbk., PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Setiap skandal keuangan, baik di sektor swasta maupun di sektor publik, akuntan selalu menjadi sorotan karena akuntan berperan dalam penyajian dan pengauditan laporan keuangan. Namun begitu, untuk mengubah pola pikir dan perilaku pelaku bisnis, termasuk akuntan, tidak cukup hanya dimunculkan kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau merevisi kode etik profesi akuntan. Akan tetapi, peningkatan kualitas pembelajaran etika bisnis dan profesi akuntansi juga sangat penting.
Ia menilai perguruan tinggi harus mengambil peran dalam mewujudkan calon akuntan, pelaku bisnis, dan pemimpin yang etis. Sebagai bagian dari upaya ini, pembelajaran etika yang inovatif yang dapat membantu mengembangkan pengambilan keputusan yang etis dan meningkatkan perilaku yang etis harus diikhtiarkan. Sebab, etika bisnis adalah studi tentang yang benar dan salah yang berfokus pada lembaga, organisasi, dan aktivitas bisnis. Selain itu, etika bisnis mempelajari standar-standar moral dan bagaimana standar-standar tersebut berlaku dalam sistem bisnis, organisasi bisnis, dan aktivitas orang-orang yang bekerja di dalam organisasi tersebut. “Etika profesi akuntansi sering merujuk pada kode etik profesi akuntan yang memberi petunjuk atau arahan bagaimana seorang akuntan harus bertindak secara profesional,” paparnya.
Menurutnya pembelajaran etika bisnis dan profesi akuntansi, khususnya di era digital ini mengalami berbagai tantangan. Para dosen akuntansi, khususnya pengajar etika bisnis dan profesi akuntansi, dituntut untuk menemukan model pembelajaran dan metode penyampaian yang menarik dan atraktif bagi para generasi milenial dan generasi Z. Pada saat yang sama mereka harus menanamkan nilai-nilai etika kepada mereka. Hal ini sangat diperlukan supaya kasus-kasus kecurangan bisnis, khususnya skandal keuangan tidak terulang atau paling tidak, dapat dikurangi. “Teknologi augmented reality (AR) dan virtual reality (VR) merupakan teknologi yang menjanjikan dan dapat digunakan untuk pembelajaran etika bisnis dan profesi akuntansi secara efektif dan efisien. Tantangannya adalah mengembangkan berbagai aplikasi berbasis AR dan VR yang merepresentasi kasus-kasus etika bisnis dan profesi akuntansi di dunia nyata,” katanya.
Dalam pemaparannya, Mahfud Sholihin mengaku ia bersama tim telah mengembangkan tiga aplikasi berbasis teknologi komputer dan telekomunikasi berbasis telepon pintar mengembangkan pembelajaran etika bisnis dan profesi akuntansi. Dua aplikasi AR yang sudah dikembangkan adalah “WWE” (Who Wants to be Ethical) dan “ARGIA” (Augmented Reality of Garuda Indonesia Airways). Satu aplikasi yang dikembangkan menggunakan VR adalah “Dilema Auditor”. Aplikasi-aplikasi tersebut dapat digunakan untuk memberi pengalaman pengambilan keputusan sekaligus memberi pemahaman tentang teori-teori terkait etika.
Lebih jauh ia menjelaskan, aplikasi WWE berbasis AR ini digunakan untuk memberikan gambaran kepada mahasiswa mengenai kasus whistle blowing yang terjadi di sebuah perusahaan nyata di Indonesia. Skenario di dalam aplikasi ini didasarkan pada situasi dilema etika yang mungkin dihadapi oleh karyawan di bagian keuangan. “Aplikasi WWE ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa mengenai aktivitas pelaporan pelanggaran yang mungkin terjadi di dunia bisnis. Selain itu, aplikasi ini juga memberikan visualisasi kasus etika bisnis yang dapat dipelajari di dalam kelas dan mengaitkannya dengan teori-teori etika bisnis,” ungkapnya.
Sementara Aplikasi ARGIA berbasis AR yang dikembangkan Mahfud Sholihin dan tim menggunakan kasus pengakuan pendapatan di PT Garuda Indonesia. Dalam aplikasi ini dijelaskan bahwa perusahaan melakukan pengakuan pendapatan secara agresif. Praktik ini bertentangan dengan prinsip konservatisme dalam akuntansi. Akibatnya, laporan keuangan, khususnya laporan laba rugi menjadi overstated dan tidak mencerminkan kondisi keuangan yang sebenarnya.
Sedangkan Aplikasi VR berisi dilema etika yang mungkin dihadapi oleh auditor. Dijelaskan Mahfud Sholihin, pada satu situasi, auditor dapat mengambil keputusan untuk menjadi detektor atau di sisi lain mengabaikan terjadinya manipulasi laba yang dilakukan oleh pihak yang diaudit (auditee). Di dalam aplikasi ini, pengguna berperan sebagai auditor dan melaksanakan pekerjaan audit sesuai dengan surat perikatan audit (audit engagement letter). Dalam melaksanakan pekerjaan audit, ada beberapa langkah yang dilakukan auditor. Pertama, auditor mereview penyelesaian proyek. Kedua, Setelah mereviu proyek, auditor menentukan berapa tingkat penyelesaian proyek tersebut. Selanjutnya, auditor mengaudit laporan keuangan dan memeriksa apakah pengakuan pendapatan sesuai dengan tingkat penyelesaian proyek.
Penulis : Gusti Grehenson