Cukup menggembirakan melihat tingkat kesadaran banyak pihak dalam memandang pariwisata sebagai alternatif ekonomi potensial. Kesadaran inipun diikuti aksi nyata hampir seluruh pelaku pariwisata di tanah air, mulai dari satuan daerah, desa, kecamatan, kabupaten hingga propinsi dalam mengembangkan pariwisata sebagai tulangpunggung pembangunan dan perekonomian wilayah.
Meski begitu, patut disayangkan program pengembangan pariwisata berbasis mass tourism dinilai memiliki kelemahan. Mass Tourism yang dikembangkan pemerintah selama ini cenderung tidak mempertimbangkan kapasitas dan daya dukung lingkungan obyek wisata dalam upaya mempertahankan daya tarik wisata.
Dr. Mohamad Yusuf, Kepala Pusat Studi Pariwisata UGM, turut mengkritisi kondisi ini. Menurutnya, cukup disayangkan jika tolok ukur keberhasilan pariwisata hanya diukur dari jumlah atau angka kunjungan.
Meski tidak hanya di Indonesia, disebutnya, kebijakan mass tourism perlu untuk ditinjau kembali. Sangat disayangkan jika pengembangan pariwisata hanya berbicara soal angka dan angka kunjungan.
“Apalagi jika dikaitkan dengan isu Borobudur yang sangat kuat saat ini. Betapa mass tourism sangat merusak tidak mencerminkan responsibel tourism. Dilarang duduk dan menaiki stupa, tetap saja mereka melanggar,” katanya, Rabu (8/6) saat menjadi pembicara diskusi bulanan HMGP Fakultas Geografi UGM bertema Indonesia as Destination: Looking Forward to Synchronize beetwen Mass Tourism and Nature Tourism.
Hal lain yang perlu dilihat kembali soal mass tourism ini terkait pengembangan pariwisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan mancanegara. Apalagi dalam program Menparekraf 2015-2019 menganggarkan promosi untuk ini sebesar 20.55 persen dari total anggaran U$ 8 miliar.
“Dengan target 20 juta wisatawan mancanegara di tahun 2019, maka promosi pun dilakukan besar-besaran, dan di saat berorientasi pada wisman ini maka ketika covid Bali terdampak paling hebat karena pengembangan fasilitas dan promosi yang dilakukan mengarah pada wisatawan mancanegara,” katanya.
Oleh karena itu, katanya, shifting paradigm pariwisata saat inipun mulai bergeser. Mass Tourism yang cenderung mencari kesenangan dalam berwisata dan menguasai alam berangsur pada kualitas berwisata dengan mencari ketenangan dan berselaras dengan alam.
Agung Satrio Nugroho, S.Si., M.Sc, dosen Pembangunan Wilayah Fakultas Geografi UGM, menambahkan terkait interaksi desa-kota dalam pariwisata maka aksesibilitas dan biaya transportasi menjadi salah satu faktor berpengaruh dalam pengembangan destinasi pariwisata terutama terkait wisatawan nusantara. Sementara itu jika targetnya wisatawan mancanegara maka pengembangan border gate menjadi hal penting.
Penulis : Agung Nugroho