Setelah cukup nyaman terkendali beberapa waktu, kini tren kenaikan harian covid kembali terjadi. Bahkan saat ini disinyalir kemunculan subvarian baru Omicron BA4 dan BA5 yang keberadaannya cukup meresahkan masyarakat.
Meski memiliki tingkat kesakitan yang rendah dibanding varian lain, subvarian Omicron BA4 dan BA5 tetap harus diwaspadai. Lantas apa kata pakar soal ini?
Peneliti dari FKKMK Universitas Gadjah Mada, dr. Gunadi, PhD, Sp.BA., mengaku memang terjadi kenaikan kasus pasca lebaran. Dibanding pada gelombang sebelumnya, kenaikan kasus kali ini terjadi lebih kurang 30 hari setelah Hari Raya dan diketemukannya subvarian BA.4 dan BA.5 di Indonesia.
Subvarian Omicron BA4 dan BA5 pertama kali dilaporkan di Indonesia pada 6 Juni 2022 dengan diketemukannya 4 kasus. Keseluruhan kasus adalah pada laki-laki sudah divaksin 2 hingga 3 bahkan booster, dan tiga diantaranya terkena subvarian Omicron BA5 adalah para pelaku perjalanan luar negeri Pertemuan Global Platform Disaster Risk Reduction di Bali pada tanggal 23-28 Mei 2022.
“Rata-rata mereka ini tidak bergejala dan hanya satu yang mengeluhkan sakit tenggorokan dan merasakan badan pegal-pegal,” ujar Gunadi, di Kampus UGM, Kamis (16/6).
Ia menjelaskan subvarian Omicron BA4 dan BA5 memiliki kemungkinan menyebar lebih cepat dibanding BA1 dan BA2. Subvarian baru inipun tidak ada indikasi yang menyebabkan kesakitan lebih parah dibanding varian Omicron lainnya.
Subvarian BA4 dan BA5, dinilai, memiliki penurunan kemampuan terhadap terapi beberapa jenis antibody monklonal. Ia juga memiliki kemungkinan lolos dari perlindungan kekebalan yang disebabkan oleh infeksi varian Omicron.
Disebutnya, Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 memiliki banyak mutasi yang sama dengan varian Omicron asli tetapi memiliki lebih banyak kesamaan dengan varian BA.2. Kedua varian mengandung substitusi asam amino L452R, F486V, dan R493Q dalam spike receptor binding domain dibandingkan dengan BA.2.
“Mutasi L452R, yang juga terdeteksi pada varian Delta diperkirakan membuat virus lebih menular dan menghindari penghancuran sebagian oleh sel-sel imun. Mutasi F486V juga membantu menghindari pengenalan sistem imun,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan karakteristik varian Omicron rata-rata memiliki tanda-tanda gejala awal seperti batuk (89 persen), fatigue (65 persen), dan hidung tersumbat atau rinore (59 persen). Gejala lainnya demam (38 persen), mual atau muntah (22 persen), sesak napas (16 persen), diare (11 persen) dan anosmia atau ageusia 8 (persen).
“Saat ini terdapat sejumlah kecil kasus BA.4 dan BA.5. Karenanya masih terlalu dini untuk mengetahui secara pasti apakah ada gejala baru yang terkait dengan garis keturunan ini. Namun, mengingat bahwa garis keturunan masih diklasifikasikan sebagai Omicron, dan bahwa sebagian besar mutasi (terutama dalam protein lonjakan) adalah sama, kemungkinan gejalanya akan serupa,” ucapnya.
Oleh karenanya untuk tata laksana farmakologis sebagaimana penanganan pada Covid-19 pada umumnya jika tanpa gejala cukup diberikan vitamin C, D, pengobatan suportif, pengobatan komorbid dan komplikasi. Ringan diberikan vitamin C, D, Favipiravir atau Molnupiravir atau Nirmatrelvir/Ritonavir, pengobatan simtomatis, pengobatan suportif, pengobatan komorbid dan komplikasi.
Sementara untuk gejala sedang diberikan vitamin C, D, remdesivir atau alternatifnya: Favipiravir, Molnupiravir, atau Nirmatrelvir/Ritonavir, antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP, pengobatan simtomatis, pengobatan komorbid dan komplikasi. Untuk yang berat atau Kritis maka akan diberikan vitamin C, B1, D, remdesivir atau alternatifnya: Favipiravir, Molnupiravir, atau Nirmatrelvir/Ritonavir, kortikosteroid, anti IL-6 (Tocilizumab/Sarilumab), antibiotik (pada suspek koinfeksi bakteri), antikoagulan LMWH/UFH/OAC berdasarkan evaluasi DPJP, tata laksana syok (bila terjadi) dan pengobatan komorbid dan komplikas.
“Apakah harus rawat rumah sakit atau isolasi mandiri, saya kira untuk yang tanpa gejala cukup dengan obat-obatan oral dan oksigen dan pemantauan bisa dilakukan sendiri atau tenaga medis secara tidak langsung. Beda dengan yang sedang, berat atau bahkan kritis, disamping obat-obatan oral, obat-obatan injeksi, oksigen dan lain-lain perlu kiranya dirawat di rumah sakit dan dipantau langsung oleh tenaga medis,” terangnya.
Sebagai antisipasi, katanya, banyak pihak segera tingkatkan booster. Tetap pakai masker di dalam ruangan, kendaraan umum, kerumunan, dan bila merasa tidak enak badan. Selain itu, tidak terburu-buru untuk mencabut kebijakan bermasker.
“Pokoknya tetap patuhi protokol kesehatan. Protokol kesehatan akan selalu diperbaharui dan tetap menjadi acuan dalam kegiatan sehari-hari,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Jurnal Soreang