Yogya (KU) – Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) merupakan kartu identitas yang menyatakan bahwa pemiliknya adalah warga negara Republik Indonesia. Surat bukti kewarganegaraan ini hanya diberikan kepada warga negara Indonesia keturunan, salah satunya keturunan Tionghoa. Meskipun sejak reformasi telah dihapus, dalam praktiknya SBKRI masih diterapkan di berbagai daerah.
Hal itu terungkap dalam Seminar Sejarah “Etnis Tionghoa dalam Sejarah Indonesia” yang digelar di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Jumat (30/4). Sejarah peraturan kebijakan kewarganegaraan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial hingga masa kemerdekaan bagi warga keturunan minoritas Tionghoa menjadi bahan diskusi utama.
Mahasiswa S-2 Sejarah UGM, Faizatush Sholikhah, menuturkan berbagai kebijakan tentang kewarganegaraan yang ditetapkan di Indonesia pada dasarnya merupakan pengulangan peraturan kolonial oleh peguasa yang berbeda, tetapi memiliki persamaan substansi. “Masa kolonial diterapkan passenstelsel untuk membedakan warga negara. Kemudian yang diterapkan kembali kebijakan kewarganegaraan Indonesa dengan kewajiban kepemilikan surat bukti kewarganegaraan seperti STKI uang meskipun dicabut pelaksanaannya. Namun, kembali dimunculkan dengan adanya Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia,” kata Sholikhah yang menjadi narasumber dalam seminar tersebut.
Menurut Sholikhah, kebijakan kewarganegaraan juga turut mengambil bagian dalam membentuk adanya kaum minoritas. Minoritas tidak hanya terbangun dari perbedaan bahasa, agama, ataupun etnik karena juga sebagai bagian pembentuk identitas kebangsaan.
Sementara itu, Didi Kwartanada, Ketua Yayasan Nation Building (Nabil) menuturkan golongan Tionghoa dari masa kolonial hingga kini lebih diposisikan sebagai minoritas perantara yang berkedudukan ekonomi cukup mapan, tetapi secara politis masih lemah. Menurutnya, kedudukan sebagai perantara ini memang diinginkan penguasa sebagai pihak yang disalahkan saat terjadi kerusuhan menentang penguasa atau saat terjadi kevakuman pemerintahan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)