Borobudur berbeda dengan destinasi-destinasi wisata yang lain, semisal Dieng, Sangiran dan lain-lain. Borobudur telah ditetapkan sebagai kawasan strategis pariwisata nasional. Bukan hanya sebagai kawasan strategis pariwisata nasional, Borobudur juga menyandang predikat wisata super prioritas.
“Karena kita harus memahami status-status yang melekat di Borobudur. Atas dua status tersebut maka Borobudur memiliki target nasionalnya yaitu menjadi agregator untuk pertumbuhan ekonomi pariwisata,”ujar Edy Setijono, Direktur Utama PT. Taman Wisata Candi Borobudur-Prambanan-Ratu Boko, Senin (27/6) saat berbicara pada talkshow dengan bertema “Meneguhkan Peran Desa Wisata di kawasan Super Prioritas Borobudur”.
Menurut Edy, sebagai agregator tentunya bukan hanya untuk wilayah Borobudur, tetapi menjadi agregator bagi pertumbuhan ekonomi pariwisata khususnya di wilayah Joglosemar. Soal peran ini, disebutnya, harusnya menjadi konsideran yang betul-betul harus diperhatikan.
“Karena Borobudur memiliki fungsi sebagai agregator pertumbuhan ekonomi wilayah Joglosemar maka sudah seharusnya juga memperhatikan program yang harus dicanangkan Propinsi di Jawa Tengan dan Daerah Istimewa Yogyakarta,” ucapnya.
Meski menyandang sebagai kawasan super prioritas, kata Edy, ketika wisatawan akan datang ke Borobudur segala sesuatunya harus dipersiapkan, termasuk klaster-klaster wisata pendukung. Memang yang dipromosikan untuk nasional dan internasional adalah Borobudur tetapi banyak pihak juga harus mempersiapkan wisata pendamping, misalkan klaster wisata Dieng, Karimun Jawa Semarang, Sangiran dan Prambanan.
“Jangan sampai kejadian di tahun 2019 terulang kembali. Ketika 4 juta wisatawan datang ke Borobudur tapi hanya 2-3 jam setelah itu ke tempat lain. Karena semestinya sekitar Borobudur yang menjadi peluang pertama dan opportunity besar ada pada orang-orang yang ada di Borobudur,” katanya.
Talkshow dengan tema “Meneguhkan Peran Desa Wisata di kawasan Super Prioritas Borobudur” diselenggarakan Kagama Pariwisata dan Pusat Studi Pariwisata UGM. Talkshow menghadirkan 6 pembicara yaitu Edy Setijono (Direktur Utama PT. Taman Wisata Candi Borobudur-Prambanan-Ratu Boko), S. Achmad Husain, S.E., M.M (Kepala Disporapar Kabupaten Magelang), Subiyanto, S.H., M.M (Camat Borobudur), Nuryanto (Pegiat Omah Budur), Wiwit Kasiyati (Kepala Balai Konservasi Borobudur) dan Muhammad Hely Rofikun (Kepala Desa Karangrejo) dengan moderator Dr. Destha Titi Raharjana, S.Sos., M.Si.
Nuryanto sebagai pegiat Omah Budur mengungkapkan dalam mengelola wisata yang terpenting adalah optimalisasi terkait potensi diri, kenali potensi diri dan kuasai potensinya, serta menjalankan apa yang menjadi konsekuensinya. Dengan begitu para pegiat wisata diharap mengenali potensi lingkungannya, menguasai lingkungannya, dan baru setelah itu merawat dan meruwat untuk dijadikan sebagai sebuah kegiatan.
“Handarbeni atas apa yang kita miliki, atas keilmuan yang kita tekuni dan bagaimana bisa sharing atau bermanfaat untuk sekitar,” ungkapnya.
Menurut Nuryanto optimalisasi penting agar tidak meloncat-loncat dari apa yang akan disuguhkan sebagai konsekuensi kegiatan pariwisata. Sebab pariwisata sendiri ada 3 hal yang harus dipegang, pariwisata itu wajib berbagi adil pada lingkungannya, wajib bermanfaat untuk lingkungannya, dan bagaimana bisa memberdayakan.
Camat Borobudur, Subiyanto, S.H., M.M., menambahkan berbicara pariwisata Borobudur yang terpenting adalah menghadirkan pariwisata berkualitas dan menghadirkan pariwisata yang berkelanjutan. Dua hal tersebut harus menjadi pegangan dalam mengembangkan pariwisata di Borobudur.
“Itu tentu menjadi tugas besar yang harus diinternalisasi kepada semua pihak. Tidak saja kepada pemangku kepentingan, tetapi termasuk juga para kades, masyarakat bagaimana menghadirkan pariwisata yang berkualitas,” terangnya.
Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat menangkap keramaian wisata Borobudur dengan kesahajaan, yaitu dengan sajian-sajian yang menggambarkan bahwa masyarakat mendukung pariwisata di Borobudur. Sebagai peluang paling besar untuk ditangkap, potensi wisata Borobudur telah menggerakkan 20 desa di wilayah tersebut dengan mencanangkan diri sebagai desa wisata.
“17 diantaranya sudah mendapat SK sebagai desa wisata. Ada 3 desa yang sudah masuk kategori desa wisata maju, lima masuk desa wisata berkembang, 10 desa wisata rintisan, dan ada dua desa belum terverifikasi,” paparnya.
Muhammad Hely Rofikun, Kepala Desa Karangrejo sekaligus ketua asosiasi lurah di Borobudur, menyatakan desa-desa di sekitar Borobudur adalah magnet yang luar biasa untuk para wisatawan. Karenanya hanya tinggal bagaimana upaya banyak pihak dalam menarik para wisatawan untuk hadir di desa-desa wisata di Borobudur.
“Mungkin saat ini memang belum semua desa optimal di dalam memanfaatkan potensi wisata yang ada di desa. Saya yakin kedepan desa-desa akan maju bersama, kalau ada yang belum serentak maju nunggu waktu saja, dan mereka yang belum maju tentu akan termotivasi desa-desa yang sudah maju,”urainya.
Penulis : Agung Nugroho