Namibia merupakan salah satu negara yang terletak di bagian barat daya benua Afrika. Menurut sejarahnya, Namibia merupakan jajahan Jerman. Akibat kekalahan perang dunia 1 maka kemudian Namibia diserahkan ke Inggris dan setelah itu baru dikelola oleh Afrika Selatan.
Namibia memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1990. Memiliki luas kira-kira 824 ribu km2 kondisi Namibia meliputi 82 persen daerah kering dan 8 persen lainnya daerah agak basah. Dengan jumlah penduduk sekitar 2,54 juta jiwa dan kepadatan penduduk kira-kira 4 orang/km2, sebagian besar penduduk Namibia adalah petani yang sangat bergantung dengan curah hujan.
Dari kunjungan ke Namibia yang dilakukan belum lama ini, Dr. Ir. Taryono, M.Sc, dosen Fakultas Pertanian UGM, menyebut jumlah curah hujan per tahun di Namibia sangat beragam. Di beberapa daerah ada yang memiliki curah hujan sangat rendah (25 mm/tahun). Ada pula daerah yang memiliki curah hujan cukup besar (600 mm/tahun) yang sering kali jatuh di wilayah timur laut.
Oleh karena itu, ia menyebutkan kendala pertanian paling utama adalah kekeringan meski di beberapa daerah khususnya di bagian utara dari barat ke timur daerah perbatasan Angola dan Zambia sering terjadi banjir dengan iklim sub-tropis basah. Negara ini dikenal sebagai negara pengekpor daging, tetapi 60 persen kebutuhan pangan khususnya hasil pertanian harus didatangkan dari luar negeri.
“Oleh karena itu, Namibia tergolong negara rawan pangan. Pemerintah Namibia pun berusaha memperkuat sistem ketahanan pangannya dengan mencoba untuk mengembangkan budi daya tanaman pangannya sendiri khususnya di daerah-daerah yang dapat digunakan, khususnya di bagian utara Namibia dari barat ke timur yang kebetulan juga merupakan daerah paling padat penduduk,” ujarnya, di Kampus UGM, Selasa (5/7).
Melihat pertanian Indonesia maka masyarakat Namibia pun berkeinginan belajar terkait kedaulatan pangan dari Indonesia. Indonesia dalam pandangan mereka dinilai berhasil dalam memenuhi kebutuhan pangan nasionalnya dengan menerapkan teknologi tepat guna yang sangat memungkinkan untuk ditularkan ke masyarakat Namibia khususnya warga lokal.
“Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Kedutaan besar Indonesia di Windhoek, Namibia beberapa tahun lalu mengundang Tenaga ahli Pertanian Universitas Gadjah Mada untuk mengunjungi Namibia bagian Utara khususnya daerah Caprivi dan Oshakati,” ujar Taryono.
Dari kunjungan tersebut, disimpulkan bahwa daerah utara Namibia dengan segala kekurangannya dapat digunakan untuk budi daya tanaman pangan. Terdapat kurang lebih 65.920 km2 (6.592.000 ha) lahan yang dapat digunakan untuk budi daya tanaman pangan dengan berbagai permasalahannya.
Dalam pandangan Faperta UGM apabila separuh lahan pertanian tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal untuk budi daya tanaman pangan secara berkelanjutan, maka kedaulatan pangan Namibia akan terwujud. Oleh karena itu, Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Universitas Namibia hingga saat ini tetap berperan aktif dalam mendukung program kedaulatan pangan melalui penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Kerja sama UGM-UNAM
UNAM merupakan universitas negeri yang didirikan oleh bapak bangsa Namibia dalam rangka menjawab kebutuhan bangsa Nambia setelah Merdeka tahun 1990. Perkenalan UGM dengan UNAM dimulai tahun 2008, saat Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Kedutaan Besar Indonesia di Windhoek-Namibia memerlukan tenaga ahli pertanian khususnya padi dari Indonesia atas permintaan pemerintah Namibia.
Secara kebetulan, salah satu tenaga pengajar Fakultas Pertanian UGM yaitu Ir. Supriyanta, M.P., saat itu berkunjung ke Namibia. Kunjungan pertama yang dilakukan oleh tim UGM saat itu adalah UNAM karena UNAM dipercaya oleh pemerintah Namibia untuk mengembangkan padi di wilayah caprivi dengan sebutan “Kalimbeza Rice Project”.
“Dari kunjungan ini nampaknya UNAM merasa sepemahaman dengan UGM sehingga disepakati adanya MOU antara UGM dan UNAM,” ungkap Taryono.
Kegiatan pertama yang dikerjakan adalah mendukung pengembangan padi di projek Kalimbeza yang berjalan hingga di tahun 2011. Dalam kerja sama yang mendapat dukungan dari pemerintah Namibia, UNAM berhasil mendatangkan beberapa peralatan pertanian dari Indonesia.
“Pada tahun 2010-2011, UGM pun membantu pembukaan lahan sawah di kampus Ogongo seluas 5 ha yang sampai sekarang tetap berfungsi dengan baik,” katanya.
Penulis : Agung Nugroho