Terlepas dari masalah konflik perang di Ukraina, tawaran dari Presiden Rusia Vladimir Putin kepada Presiden Joko Widodo soal Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia patut untuk dipertimbangkan. Sebab, Rusia dan Cina, saat ini memang termasuk negara yang leading dalam pembangunan PLTN. Bahkan beberapa negara, seperti Turki dan Bangladesh, juga berhasil membangun PLTN dengan basis teknologi Rusia. Hal itu dikemukakan oleh Pengajar Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Fakultas Teknik UGM, Dr. Ir. Alexander Agung, M.Sc, menanggapi isi pertemuan dari lawatan Jokowi ke Rusia belum lama ini, Rabu (6/7).
Meski perlu ada kajian mendalam soal PLTN, kata Alexander, tawaran dari Putin tersebut setidaknya membangkitkan kembali semangat dan cita-cita negara ini dalam pengembangan energi nuklir. “Tentunya kajian yang mendalam perlu dilakukan, karena vendor PLTN tidak harus dari Rusia, bisa saja dari negara lain. Kajian tentunya dilakukan untuk memastikan secara tepat, tingkat daya yang dibutuhkan yang disesuaikan dengan kebutuhan,” paparnya.
Kendala utama dalam pengembngan PLTN di tanah air selama ini menurut Alex masalahnya bukan bersumber dari sisi teknologi atau kesiapan sumber daya manusia, namun dari aspek kebijakan sosial dan politik. Dari sisi sosial, antara lain masih banyak masyarakat yang takut kalau mendengar kata nuklir. Ada stigma terkait dengan bom atom, kecelakaan Chernobyl dan Fukushima. “Isu tersebut sebenarnya bisa terpatahkan dengan mudah. Kuncinya sosialisasi dan edukasi,” jelasnya.
Sementara dari sisi politik, ujarnya, justru menjadi pangkal utama dari mandegnya implementasi dari perencanaan pembangunan PLTN tersebut sejak lama. “Sebenarnya keputusan Go Nuclear untuk PLTN pertama, itu mesti dari pemerintah. Tanpa komitmen yang kuat dari pemerintah, susah untuk mengembangkan energi nuklir di Indonesia,” tukasnya.
Belum lagi adanya kebijakan bauran energi, di mana energi fosil saat ini masih mendominasi, bahkan sampai tahun 2030-an. “Kondisi ini semakin mempersulit pengembangan energi nuklir,” paparnya.
Alex berkeyakinan bahwa tawaran dari Putin kepada Presiden Jokowi lebih ke arah pengembangan energi nuklir untuk listrik karena Putin sempat menyebut Rosatom yang merupakan vendor PLTN. Menurutnya ruang lingkup kerja sama seharusnya bisa diperluas sehingga seperti pengembangan teknologi akselerator yang saat ini juga banyak diperlukan, terutama untuk keperluan medis. Selain itu, di bidang kedokteran nuklir dan radioterapi juga menarik untuk dikembangkan dalam bentuk kerjasama dengan Rusia. “Yang jelas, kerja samanya tidak berupa pengembangan senjata nuklir. Karena hal itu tidak akan dilakukan oleh Indonesia karena Indonesia telah meratifikasi traktat non-proliferasi senjata nuklir,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Freepik