Sebagai netizen atau warga internet, kita dapat sering menemukan adanya hate speech atau ujaran kebencian bertebaran di berbagai platform media sosial internet seperti facebook, instagram, twitter dan lain sebagainya. Lantas sebenarnya darimana asal ujaran kebencian tersebut? Lalu apakah ini adalah fenomena baru atau sebetulnya sudah ada sejak dahulu, dimana baru kelihatan saja sekarang karena kebetulan ada internet sebagai wadah yang dapat membebaskan ujaran kebencian itu?
Sejalan dengan itu, Academic Production House (APH) UGM mengadakan talkshow berjudul ‘Faktor-faktor Psikologis Tingkat Kesopanan Warganet Indonesia!’ yang dipublikasikan melalui kanal Youtube UGM Channel pada Jumat, (24/6), lalu. Talkshow tersebut menghadirkan dosen Fakultas Psikologi UGM yang juga pakar psikologi internet, Haidar Buldan Tantowi, S.Psi., M.A., Ph.D..
Haidar mengatakan ujaran kebencian dapat didorong oleh berbaai faktor.
Pertama, ujaran kebencian bisa terjadi karena dalam pribadi netizen ada prasangka negatif kepada kelompok tertentu, misalnya ada penilaian bahwa sebuah kelompok, agama, atau etnis tertentu tidak beradab, pelit, sangat ekslusif dan lain sebagainya. Oleh karena adanya prasangka tersebut, para netizen mendapati perasaan jijik terhadap kelompok lainnya, kondisi ini senantiasa mendorong mereka melontarkan ujaran kebencian.
“Kalau dia (seseorang) memang memiliki prasangka yang tinggi terhadap kelompok atau agama tertentu, ya dia bisa (saja) melakukan hate speech,” tutur Haidar.
Kedua, ujaran kebencian bisa jadi terjadi dari perilaku trolling. Orang yang berprilaku trolling ini berbeda dengan orang dengan prasangka buruk. Haidar menjelaskan bahwa pelaku-pelaku ujaran kebencian dari kategori trolling ini tidak didorong oleh perasaan benci kepada kelompok tertentu. Melainkan, mereka melontarkan ujaran kebencian malah untuk mendapatkan kenikmatan atau kesenangan pribadi.
“Jadi mereka itu (pelaku trolling) memperoleh kenikmatan dengan membuat orang lain susah….. (Dalam perilaku) trolling ini, mereka melakukan itu karena (hal) itu menyenangkan, itu menghibur bagi mereka. Jadi bukan karena mereka ingin memperoleh status yang lebih tinggi, bukan masalah uang atau bukan masalah apapun, (tapi) niatnya itu murni untuk menghibur diri mereka sendiri,” jelas Haidar.
Mengacu kepada keilmuan psikologi, para pelaku trolling tersebut diklasifikasikan kepada bentuk kepribadian sadism, dimana mereka memperoleh kesenangan dari kegiatan membuat orang menderita. Misalnya ketika seseorang memposting hari bahagia mereka layaknya ulang tahun dan lain sebagainya, lalu tiba-tiba saja ada yang berkomentar negatif seperti menjelek-jelekkan bentuk tubuh dan lain sebagainya. Oleh karena komentar menjelek-jelekkan tersebut, orang yang membuat posting kemudian merasa kesal atau marah. Ketika sang pembuat posting tersebut kesal, marah, atau jengkel itulah perilaku trolling mendapatkan kesenangannya.
“(Jadi) semakin emosi kita, (maka) itu membuat mereka semakin senang,” tutur Haidar.
Terakhir, Haidar juga mengungkapkan bahwa ujaran kebencian juga didorong oleh kondisi dalam dunia internet itu sendiri. Haidar menjelaskan dunia internet/maya memungkinkan seorang untuk mendapati anonimitas. Dengan kondisi anonimitas tersebut, seseorang akan menjadi lebih berani dan leluasa melontarkan ujaran kebencian.
“Oleh karena dapat anonim, maka para netizen lebih berani untuk dan lebih mungkin untuk menyampaikan pandangan dan perasaan mereka,” pungkas Haidar.
Penulis: Aji