Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM) kembali mengadakan Papua Strategic Policy Forum (PSPF) ke-12 dengan tema “Pemekaran sebagai Resolusi Konflik?”. Diskusi yang dilaksanakan secara daring pada Rabu (6/7) ini diangkat untuk merespons isu terkait pengesahan tiga RUU tentang pembentukan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr. Gabriel Lele, mengatakan GTP UGM berupaya menekankan transformasi konflik sebagai kerangka pemekaran Papua. Menurutnya, hal tersebut harus diterjemahkan dalam berbagai aspek kultural maupun struktural serta negara juga wajib memberikan intervensi secara holistik.
Gabriel menyampaikan bahwa GTP UGM memberikan perhatian khusus pada aspek-aspek mikro seperti relasi orang asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian yang berpihak pada OAP serta inklusivitas politik dan birokrasi.
“Hal ini diharapkan mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik”, ungkap Gabriel dalam rilis yang diterima Jumat (8/7).
Sayangnya, Undang-undang yang telah disahkan DPR beberapa waktu lalu dikatakan Gabriel masih jauh dari semangat tersebut. Meski begitu, langkah tersebut merupakan kompromi terbaik yang dapat diambil pemerintah untuk sampai saat ini.
Direktur Penataan Daerah, Otonomi Khusus, dan DPOP Kementerian Dalam Negeri, Valentinus Sudarjanto Sumito, mengatakan pemekaran tiga provinsi baru di Tanah Papua merupakan aspirasi dari masyarakat dan juga elite Papua. Namun, dalam perjalananya timbul pro kontra terkait pemekaran. Oleh karena itu, pihaknya telah memetakan faktor pendukung pemekaran Provinsi Papua.
Misalnya terkait konfigurasi politik lokal, khususnya polarisasi antara masyarakat pegunungan dan pesisir. Faktor lain adalah kondisi geografis yang sangat luas dan rumit, adanya aspirasi yang kuat, dan adanya best practice ketika pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat) yang berhasil dengan baik.
Valent juga menyampaikan, pemerintah telah menyusun roadmap pelaksanaan operasionalisasi penyelenggaraan pemerintahan di provinsi baru. Mulai dari pelantikan Pj. Gubernur, peresmian provinsi, pembentukan perangkat daerah/manajemen ASN, serta pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP).
“Kami juga telah mendesain penyusunan peraturan gubernur tentang R-APBD, pengisian DPR RI, DPD RI, dan DPRP. Penetapan daerah pemilihan pemilu 2024 juga sudah diatur hingga sampai pengalihan aset dan dokumen, penyusunan rencana tata ruang wilayah, penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan, pengalokasian dana hibah, serta pembinaan, pengawasan, dan evaluasi”, pungkas Valent.
Di sisi lain, Asisten Deputi Koordinasi Otonomi Khusus pada Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam, Brigjen TNI Danu Prionggo, mengatakan pemerintah telah memetakan potensi kemungkinan terjadinya konflik pra maupun pasca pemekaran.
“Misalnya potensi penolakan DOB, penentuan cakupan wilayah, penentuan ibu kota, pengisian jabatan politik dan pemerintahan, menguatnya arus migrasi ke Papua, serta konflik kepemilikan tanah”, ungkap Danu.
Kekhawatiran tersebut juga disadari akademisi Universitas Cenderawasih, Dr. Basir Rohromana. Menurutnya, berbagai potensi konflik tersebut merupakan potensi konflik lanjutan masa lalu.
“Banyak konflik lanjutan, seperti tarik menarik ibu kota, disorientasi, stigmatisasi, dan lain-lain”, ungkap Basir.
Pemerintah menurutnya telah melakukan langkah-langkah strategis pengelolaan potensi konflik pemekaran dimulai dari komunikasi politik dengan elit lokal, komunikasi sosial kepada masyarakat, hingga melakukan pendekatan kultural kepada masyarakat melalui pemerintah daerah.
Di sisi lain, Deputi Bidang Politik dan Pemerintahan Jaringan Damai Papua (JDP) Pares L. Wenda juga menyampaikan sejumlah catatan tentang pemekaran. Misalnya, JDP berharap agar pemekaran dapat menyejahterakan OAP dan tidak elitis.
Pares berharap pemekaran dapat memberikan garansi agar pelanggaran HAM dan marjinalisasi OAP tidak terjadi lagi. Pembangunan pasca pemekaran juga diharapkan dapat menyentuh OAP hingga akar rumput.
“Pemekaran harus memastikan OAP mendapatkan akses yang luas dalam pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial budaya. Pemekaran juga harus menjamin tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang masif dan tidak melanggar hak ulayat masyarakat”, ungkap Pares.
Guru Besar FISIPOL UGM Prof. Purwo Santoso mengatakan, OAP masih sering terjebak konflik dan krisis kepercayaan selama 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus di Papua.
“Gagasan mengedepankan kekhususan Papua masih sangat membingungkan, utamanya pada level detail. Pemerintah kerap menggunakan perspektif hitam putih di atas realitas sosial, sehingga masih menyisakan berbagai persoalan”, jelas Purwo.
Purwo juga menekankan agar gagasan Papua damai tidak boleh dimaknai hanya dengan sekali dialog. Akan tetapi, harus ada proses mendialogkan data, tata berpikir, dan melekatkan dalam cara kerja birokrasi, sehingga menjadi ruh baru.
Acara PSPF merupakan agenda rutin yang dilaksanakan oleh GTP UGM dan PPKK FISIPOL UGM dengan mengangkat berbagai tajuk aktual mengenai Papua. Diskusi tersebut dihadiri setidaknya 170 orang melalui Zoom dan ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Gugus Tugas Papua UGM.
Penulis: Ika