Raut bahagia terpancar dari wajah Shafna Puspita Prastya saat dinyatakan lolos diterima kuliah di Departemen Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM. Kebahagiaan semakin ia rasakan karena berhasil lolos melalui program Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur Kartu Indonesia Pintar-Kuliah (KIP-K).
Menurut pengakuan Shafna, ia hampir saja tak lolos jika tidak jeli. Semula ia memantapkan diri memilih program studi statistika, Departemen Matematika, FMIPA UGM, tetapi berpindah karena ada teman sekelas yang memiliki pilihan sama.
Shafna mengaku beruntung ada group WA sekolah yang beranggotakan siswa-siswa yang masuk kuota SNMPTN. Ia sempat melihat salah satu temannya sudah menentukan pilihan di Statistika UGM, padahal ia memiliki nilai yang jauh lebih baik dengan mengantongi piagam olimpiade.
Sempat limbung dengan pilihannya, ia pun menemui guru BK. Ia memperkirakan jika tetap kekeh pada pilihan tentu tidak akan lolos karena bagaimanapun kuota SNMPTN terbatas.
“Saya sempat nangis di guru. Guru menanyakan punya pilihan lain? Saya jawab ada kalau tidak geologi ya geosika. Ditanya lagi nilaimu kuat dimana? Fisika, guru pun menyarankan untuk mencoba geofisika. Ya wis saya pun mencoba saja. Alhamdulillah emang rezekinya memang disini. Mungkin kalau tidak merubah saya tidak disini karena temen saya yang pilih statitiska UGM gak keterima,” ucap Shafna.
Tidak sekali ini lulusan SMA N 1 Temanggung berpindah jalur pilihan. Dara kelahiran Temanggung 10 Maret 2004 ini sempat punya cita-cita menjadi seorang dokter karena ayahnya almarhum Tri Utoro bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Soerojo Magelang.
Bahkan, saat duduk di SMP Negeri 1 Parakan ia pun pernah berkeinginan suatu saat melanjutkan studi ke STAN. Cukup serius dengan keinginan itu, ia pun mulai mengumpulkan buku-buku terkait STAN hingga bergabung di grup-grup yang ingin melanjutkan studi ke STAN.
“Terus saat pas di SMA Negeri 1 Temanggung kok IPA, STAN itu kan enaknya kalau IPS jadi niatan ke STAN mengendur, malah terus pengin ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistika. Kepikiran terus, ndilalah rangking saya bagus di kelas maka saya berusaha kejar terus agar bisa masuk kuota SNMPTN,” ungkapnya.
Jika pilihan kemudian jatuh pada program studi Geofisika FMIPA UGM, kata Shafna, itu bukan asal memilih agar bisa diterima tetapi jauh-jauh hari memang sudah mengulik informasi soal Geofisika. Bahkan, sebelum mendaftar ia pun mencari-cari informasi terkait mata kuliah Geofisika.
“Geofisika itu apa aja, takutnya nggak sejalan terus saya juga sempet tanya kakak kelas yang sudah keterima, juga mencari informasi prospek kerjanya. Kan kebanyakan di BMKG, ya saya juga penginnya bisa kerja di BMKG, ya pokoknya Bismillah saja,” ungkapnya.
Atas keberhasilan bisa melanjutkan kuliah di UGM, Shafna mengaku hal itu tidak lepas dari peran orang tuanya, terutama mendiang sang ayah. Ia selalu teringat mendiang sang ayah yang senantiasa menanamkan soal pendidikan berkualitas.
Dirinya masih teringat saat lulus dari Sekolah Dasar Muhammadiyah Parakan tahun 2016 dan kemudian meneruskan sekolah di SMP Negeri 1 Parakan. Padahal di rumahnya di Dusun Salam RT 02 RW 09, Desa Mergowati Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung juga ada Sekolah Dasar dan SMP.
“Kalau tidak mau repot, bisa saja saya sekolah deket rumah. Untuk SMP itu ada di depan, tapi maunya bapak tidak seperti itu, saya pun paham. Jadi pengin nangis jika mengenangnya, begitulah bapak menanamkan nilai-nilai pendidikan pada keluarga,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Temanggung.
Shafna bercerita ayahnya, Tri Utoro, meninggal pada tahun 2013 karena kecelakaan di saat menuju tempat kerja Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Soerojo Magelang. Praktis semenjak itu ia hidup bersama ibunya Siti Makrifah, kakak Dea Faria Ufa dan adik Sazkya Arsyanda, yang saat ini masih sekolah di kelas 7, Pondok Pesantren Almukmin Temanggung.
Meski tanpa sosok seorang ayah, Shafna mengingat betul apa-apa yang dilakukan bapaknya untuk pendidikan anak-anaknya. Tertanam betul pesan ayahnya dan Shafna selalu termotivasi untuk bisa mendapatkan lingkungan pendidikan terbaik sehingga tidak mengherankan jika ia bisa melalui jenjang pendidikan di sekolah-sekolah unggulan.
Bukan persoalan mudah untuk mendapatkannya, tapi Shafna selalu berusaha untuk meraihnya. Lulus dari SMP Negeri 1 Parakan tahun 2019, secara zonasi ia hanya berhak untuk bisa sekolah sekitar Parakan tetapi ia tetap berusaha mendapatkan SMA terbaik yaitu SMA Negeri 1 Temanggung.
“Ibu kan tidak paham soal-soal seperti ini. Hanya dengan kakak saya minta pertimbangan. Coba-coba, alhamdullilah melalui jalur prestasi akhirnya bisa diterima di SMA Negeri 1 Temanggung,” katanya.
Sayangnya, di SMA Negeri 1 Temanggung ia hanya 8 bulan mengalami pendidikan tatap muka di sekolah. Selebihnya secara online hingga lulus pada tahun 2022 karena wabah Corona.
Menyikapi situasi belajar yang serba darurat, Shafna sering menambah pendalaman mapel melalui youtube. Melalui bimbel ia tidak kuat membayar dan pernah mengikuti aplikasi Ruang Guru dan Les Online gratisan tetapi merasa tidak enak akhirnya memutuskan keluar untuk belajar sendiri.
“Di Youtube itu suka kayak ada video-video yang menjelaskan, terus saya belajarnya malah lewat situ. Kadang kalau tidak ada yang mudeng baru tanya guru mapel di sekolah lewat chat. Kadang malah disuruh ke rumah guru,” terangnya.
Secara rutin Shafna belajar pada malam hari setelah Isya hingga tengah malam. Waktu sore hingga Isya, ia manfaatkan waktu untuk mengaji dan terkadang memberi les anak SD dan SMP di sekitarnya.
Ia sempatkan itu karena di masa pandemi Covid-19 anak-anak sekolah banyak belajar di rumah dengan aneka tugas dari sekolah. Dirinya pun cukup maklum jika banyak orang tua tidak paham kurikulum belajar yang dibebankan saat pandemi.
“Di rumah ini kalau sore ada saja yang datang untuk belajar dan minta diajari untuk selesaikan PR,” ungkapnya.
Di akhir pendidikan di SMA, prestasi akademik Shafna memang cukup meyakinkan. Tercatat ia mendapatkan nilai matematika 94, Biologi 94, Fisika 97, Kimia 91 dan Bahasa Inggris 90.
Sebagai pribadi yang tak bisa diam meski di masa pandemi, Shafna tetap mengikuti aneka kompetisi. Terakhir ia mengikuti lomba Putri Hijab Jawa Tengah dan lolos masuk 15 top menuju grand final. Sebelumnya ia pernah meraih prestasi juara 2 Lomba Duta Genre Kabupaten Temanggung tahun 2020.
“Untuk hijabnya grand final pada bulan Juli ini di Semarang. Jadi, ini lagi nunggu-nunggu jadwalnya,” ungkapnya.
Hingga saat ini, Shafna masih kurang percaya dirinya masih siswi SMA atau sudah menjadi mahasiswa. Mengalami pendidikan tatap muka di SMA hanya 8 bulan dirasanya sangat kurang.
“Semoga di perkenalan kampus besuk bisa terobati, karena sebagian besar mahasiswa baru saya kira hampir sama yang dialami,”imbuhnya.
Siti Makrifah merasa bersyukur atas kelancaran belajar Shafna. Iap un bersyukur karena selepas lulus dari SMA Negeri 1 Temanggung diterima kuliah di UGM dengan mendapat beasiswa.
“Jujur saya ini tidak paham soal pendidikan karena yang ini seringnya Shafna ngomong sama kakaknya, Faria Ufa yang baru saja lulus dari UNY,” katanya.
Meski terkadang tidak paham, sebagai orang tua ia mengaku selalu mendengar cerita dari anak-anaknya. Tak banyak yang bisa ia lakukan paling hanya selalu mengingatkan soal kejujuran sebagai yang utama.
Siti pun bercerita sempat terpuruk selama setahun setelah suaminya Tri Utoro meninggal dunia. Ia merasa tidak siap ditinggal suaminya selama-lamanya secara mendadak.
“Saya sempat stres tidak bisa ngapa-ngapa cukup lama. Tapi suatu hari saya melihat ketiga anak saya di teras, ada rasa haru dan dari situ saya bangkit untuk bekerja sebisanya meski serabutan untuk anak-anak,” ucapnya.
Penulis : Agung Nugroho