Pendidikan adalah usaha kebudayaan. Sebagai usaha kebudayaan, pendididkan dinilai sebagai sesuatu yang luar biasa karena pada situasi saat ini telah menempatkan pendidikan di perguruan tinggi sebagai bisnis.
Bahkan pendidikan selama ini telah terjebak dalam pendekatan-pendekatan yang sifatnya kognitif. Oleh karena itu, perlu merenungkan pengajaran Ki Hadjar Dewantara yang menempatkan pendidikan bukan sekedar soal kognitif melainkan juga soal rasa dan karsa.
Rektor Universitas Sarjana Tamansiswa, Prof. Pardimin, menyatakan Tamansiswa menempatkan pendidikan sebagai usaha kebudayaan dan kemasyarakatan. Oleh karena itu, pendidikan diarahkan untuk mendekatkan pada lingkungan alam, sosial, dan budaya yang dihidupi di lingkungannya.
Ia menyampaikan pendidikan adalah proses pembudayaan berkaitan dengan proses humanisasi yang memiliki antitesis yang antinilai. Sebagai bagian dari Tamansiswa, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta menempatkan ‘Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Nasional” sebagai dharma keempat dari Caturdharma.
Menurutnya kebudayaan adalah buah budi manusia yang mengandung sifat-sifat luhur dan indah. Sebagai hasil perjuangan hidup manusia terhadap kekuatan alam dan zaman yang berlangsung terus menerus sepanjang hidup manusia demi membawa kemajuan hidup dan penghidupan kepada manusia untuk mewujudkan hidup tertib damai, salam dan bahagia.
Sebagai hasil perjuangan, kebudayaan tidak hanya mengandung sifat-sifat keluhuran dan kehalusan, namun mengandung sifat-sifat kemajuan dan berfaedah dalam arti meringankan hidup manusia. Kemajuan kebudayaan dikembangkan sesuai dengan teori trikon, yaitu, kontinu, konvergen dan konsentris.
“Kontinu diartikan sebagai terus menerus, berkesinambungan mengembangkan kebudayaan asli. Konvergen, secara selektif dan adaptif memadukan kebudayaan kita dengan kebudayaan asing yang dipandang perlu untuk kemajuan bangsa, dan konsentris, menuju kearah kesatuan kebudayaan dunia dengan tetap terus mempunyai sifat kepribadian di dalam lingkungan kemanusiaan dunia,” paparnya, Rabu (13/7).
Dalam kesempatan ini, Rektor UST Yogyakarta mengapresiasi diskusi dalam rangka memperingati 100 tahun Tamansiswa yang diinisiasi oleh Dewan Guru Besar UGM. Diangkatnya diskusi ini oleh UGM memperlihatkan bila Tamansiswa bukan hanya milik UST Yogyakarta, Majelis Luhur Tamansiswa atau cabang-cabang Tamansiswa melainkan menjadi milik bersama.
Prof. dr. Mora Claramitha, MHPE., Ph.D., Sp. KKLP, Guru Besar Pendidikan Dokter dan Bioetika FKKMK UGM, menyebut kodrat roh pendidikan adalah memfasilitasi Natuur (watak) menjadi Kultuur (kebiasaan) dan bermuara pada perikehidupan yang baik. Sifat pendidikan adalah kontekstual, sesuai dengan kondisi yang muaranya adalah pengaturan hidup atau perikehidupan yang baik.
“Karenanya tujuan pendidikan tidak berhenti pada pengetahuan dan kepandaian atau ketrampilan, namun matangnya jiwa atau diri pribadi sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang tertib dan bermanfaat bagi orang lain. Kematangan jiwa atau diri yang dimaksudkan adalah keluhuran budi dan bijaksana,” terangnya.
Lambang Tut Wuri Handayani di dalam pendidikan, kata Mora, berarti membuka kesempatan dan potensi yang seluas-luasnya, yaitu mewujudkan satu tujuan manusia yang berbudi luhur.
Dalam Bahasa Inggris Tut Wuri Handayani ini diterjemahkan sebagai facilitating, nurturing, empowering. Lambang ini di kementerian pendidikan ditetapkan pada tahun 1977
Mora menjelaskan implikasi pemikiran Ki Hadjar Dewantara pada pendidikan tinggi di Indonesia diantaranya pembelajar sepanjang hayat dan kemampuan melakukan refleksi. Selain itu juga menyangkut soal pemberian umpan balik yang membangun, mentoring yang berkelanjutan, pembelajaran berbasis kebutuhan dan tempat di masyarakat industri, pembelajaran berbasis keunggulan kebudayaan lokal mengacu pada nilai-nilai universal.
“Intinya pembudayaan menuju kemandirian belajar menjadi insan yang berbudi luhur,” urainya.
Plt. Direktur Riset, Teknologi dan Pengabdian pada Masyarakat, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, KEMENDIKBUDRISTEK, Prof. Teuku Faisal Fathani. menyatakan bukan kapasitasnya turut menggali nilai-nilai luhur Ki Hadjar Dewantara. Meski begitu dalam diskusi ini, ia mencoba untuk mendengar dan mengobservasi agar bisa memformulasikan pemikiran dari Ki Hadjar Dewantara bisa dibuat lebih terstruktur dan sistematis dan nantinya diharapkan bisa memengaruhi atau mengarahkan pendidikan di KEMENDIKBUDRISTEK, khususnya di Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi.
“Saya mengusulkan bagaimana nanti antara Universitas Sarjana Tamansiswa dan UGM bisa bersama membangun pusat unggulan atau Pusat Studi yang bisa menggali lebih dalam nilai-nilai luhur dari Ki Hadjah Dewantara untuk kemajuan pendidikan Indonesia,” tuturnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Kumparan