Pemerintah Indonesia perlu memperkuat langkah untuk memastikan keamanan kerja, metode, dan keterlibatan personel apotek dalam upaya menanggapi pandemi di masa depan. Hal tersebut merupakan rekomendasi dari tim PINTAR (Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance) yang beranggotakan peneliti dari Indonesia, Australia, dan Inggris termasuk Universitas Gadjah Mada.
Tim PINTAR melakukan penelitian dengan wawancara terhadap 21 apoteker dan tenaga teknis kefarmasian di 16 provinsi Indonesia. Sebagian peserta telah bekerja sekitar 3 tahun di apotek ritel dan apotek milik perorangan.
Tim peneliti PINTAR, dr. Luh Putu Lila Wulandari, mengungkapkan selama pandemi kunjungan masyarakat ke apotek meningkat. Kondisi tersebut terjadi akibat kekhawatiran masyarakat akan diminta karantina di rumah sakit jika terdeteksi terkena virus Covid-19 saat mengunjungi klinik dan rumah sakit. Apotek komunitas juga menjaga dan meningkatkan pelayanan melalui layanan jarak jauh.
Ia menyebutkan dari laporan para apoteker ada sejumlah tantangan yang dihadapi apotek komunitas saat memberikan pelayanan di masa pandemi. Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian tidak hanya merasa mereka akan terpapar virus Covid-19, tetapi juga adanya peningkatan biaya serta sering kehabisan stok masker, hand sanitizer, dan obat-obatan. Meskipun hal tersebut umum terjadi di seluruh dunia selama fase pandemi yang memprihatinkan, namun hal tersebut menjadi tantangan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang lebih rentan mengalami kehabisan stok.
Sementara Prof. Ari Natalia Probandari, MPH., Ph.D, peneliti PINTAR lainnya dari UNS, menyebutkan bahwa di banyak negara, apotek komunitas biasanya menjadi tujuan pertama yang menjadi penghubung antara pasien dan sistem kesehatan, terutama yang memiliki keterbatasan layanan kesehatan. Karenanya melalui studi ini dapat dilihat pentingnya apotek komunitas yang merupakan penyedia layanan kesehatan pertama. Artinya, ketika masyarakat mengalami gangguan kesehatan justru memiliki kebiasaan melakukan kontak pertama dengan datang ke apotek.
“Apalagi di masa pandemi karena ada banyak pembatasan dari layanan maka peran itu menjadi semakin menonjol,” terangnya.
Oleh karena itu, menurutnya penting peningkatan peran dan penguatan dukungan bagi apoteker. Misal, panduan-panduan untuk mereka bisa mengedukasi masyarakat secara luas, terutama dalam penggunaan antibiotik selama pandemi yang memang meningkat.
Ia menyampaikan Covid-19 telah membuka mata tentang peran penting apotek komunitas di dalam sistem kesehatan, terutama karena banyak puskesmas yang terpaksa tutup akibat tingginya jumlah tenaga kesehatan di sana yang terpapar virua. Apotek menjadi layanan kesehatan yang tetap buka diawal pandemi utk melayanai masyarakat dan memastikan akses obat-obatan dan alat pelindung diri (APD) tercukupi. Selain itu, menyebarluaskan informasi tentang Covid-29 dan merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang memadai.
Temuan lain dari penelitian ini yang cukup mengkhawatirkan adalah meningkatnya permintaan antibiotik yang drastis. Padahal, antibiotik tidak direkomendasikan untuk penanganan Covid-19.
Sementara itu, penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan resistensi antimikroba. Menurut salah satu peneliti utama PINTAR, yaitu Prof. Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK(K) dari Universitas Gadjah Mada, diprediksi pada tahun 2050 jumlah orang yang terkena resistensi antibiotik akan sangat tinggi.
“Saat ini kematian akibat resistensi antimikroba sudah mencapai 700 ribu orang per tahun dan diprediksi di tahun 2050 bisa mencapai 10 juta orang per tahun di seluruh dunia. Hal itu menunjukkan resistensi mikroba terhadap antibiotik menjadi ancaman yang jelas di depan mata,” paparnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah harus menerapkan langkah-langkah atau aturan tambahan untuk memantau penggunaan antibiotik. Berikutnya, meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menggunakan antibiotik secara tepat selama pandemi serta dalam keadaan kedaruratan di masa depan.
Penelitian ini merupakan bagian dari PINTAR (Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance), penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan pemberian antibiotik secara rasional di masyarakat dan memerangi penyebaran resistensi antimikroba. Penelitian PINTAR dipimpin oleh Kirby Institute of Australia’s University of New South Wales (UNSW) yang bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada, Universitas Sebelas Maret, Kementerian Kesehatan RI, London School of Hygiene & Tropical Medicine and the University College London di Inggris, dan The George Institute for Global Health di UNSW Sydney. Studi ini didukung oleh hibah dari Indo-Pacific Centre for Health Security (DFAT) di bawah Australian Government’s Health Security Initiative.
Penulis: Ika