Bagi masyarakat berkebudayaan Jawa, istilah weton mungkin sudah tidak asing lagi. Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti hari kelahiran. Adapun dalam budaya Jawa tersebut, hari lahir atau weton dihitung dan dibagi kepada dua hal, pertama adalah hari seperti Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu, serta yang kedua adalah pasarannya seperti Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Kedua bentuk hari tersebut kemudian disandingkan dan dijadikan dasar acuan kepada beberapa lini kehidupan masyarakat Jawa. Sebagaimana diketahui, weton selama ini telah digunakan untuk memilih jodoh, menentukan waktu untuk mendirikan rumah, menentukan waktu tanam saat bertani, menentukan kapan hari terbaik untuk memulai usaha, dan lain sebagainya.
Lantas pertanyaan mendasarnya, kenapa masyarakat Jawa menggunakan perhitungan hari beserta pasarannya seperti di atas guna menentukan berbagai hal? Atau bagaimana bisa hari kelahiran digunakan untuk memilih jodoh dalam masyarakat?
Pakar filsafat jawa UGM, Dr. Iva Ariani, menjelaskan bahwa fenomena weton dalam budaya Jawa tersebut sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fenomena yang terjadi dengan masyarakat dengan kebudayaan lainnya. Jika dalam masyarakat barat ditemukan berbagai perhitungan-perhitungan untuk menentukan sikap mereka, masyarakat kebudayaan Jawa nyatanya juga menggunakan perhitungan-perhitungan serupa.
Dr. Iva Ariani mengungkapkan bahwa perhitungan masyarakat Jawa didasari oleh yang dinamakan “ilmu titen”. Titen ini lebih kurang adalah ilmu membaca situasi. Situasi yang dibaca adalah berbagai kejadian di alam sekitar. Contohnya seperti ketika melihat binatang-binatang turun dari gunung, maka kejadian tersebut menjadi tanda bahwa tidak lama lagi akan terjadi gunung meletus atau gempa. Kemudian, jika merasakan suhu menjadi panas, maka itu adalah tanda bahwa akan turun hujan, dan lain sebagainya.
Pengalaman-pengalaman yang dialami masyarakat dalam membaca situasi alam di sekitar tersebut terus berkumpul dan menghasilkan salah satunya “weton” dan kita saksikan sekarang ini. Jadi misalnya ada seseorang lahir pada hari dan pasaran tertentu, contohnya Senin Legi atau Selasa Pon. Leluhur masyarakat Jawa sebelumnya telah melihat dan membaca pengalaman dan nasib dari orang-orang yang dilahirkan pada waktu tersebut dan lalu menggunakannya untuk penentuan di masa depan. Ini tidak jauh berbeda dengan ilmu kosmologi yang digunakan dalam zodiak.
Oleh karena itu, dalam ilmu filsafat, weton disebut juga dengan epistimologi Jawa. Sebab, dengan mengacu kepada penjelasan di atas, weton sendiri didasarkan oleh pengalaman-pengalaman empiris masyarakat.
“Jadi ini sebenarnya pengetahuan, pengetahuan tradisonal masyarakat,” tutur Dr. Iva Ariani dalam podcast berjudul ‘Antara Zodiac, Weton dan Sains’ yang turut dipublikasikan melalui kanal Youtube Universitas Gadjah Mada pada Kamis, (7/7), lalu.
Penulis: Aji