Kebijakan subsidi pupuk di Indonesia sudah berlangsung sejak 1969. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kinerja sektor pertanian terutama subsektor tanaman pangan. Namun demikian, kebijakan yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun ini tidaklah efektif dan bahkan menimbulkan kerugian. Beberapa hasil kajian di banyak tempat ditemukan persoalan diantaranya pengoplosan pupuk subsidi dan non subsidi. Penyebaran isu kelangkaan pupuk bersubsidi sehingga harganya mahal dan penimbunan serta penggantian kemasan pupuk bersubsidi menjadi non subsidi. Selain itu, ada kebocoran penyaluran pupuk bersubsidi juga terjadi karena pupuk bersubsidi tidak hanya diselewengkan ke tanaman perkebunan tetapi juga ke industri termasuk industri kayu lapis, lem, peternakan dan batik.
Sementara dari hasil kajian tim Fakultas Pertanian yang dipimpin oleh Dr. Jumhari menyebutkan terdapat adanya ketidaktepatan sasaran distribusi pupuk bersubsidi.”Yang menyerap bukan petani, serapan ini dilakukan oleh pengecer resmi. Distribusinya apakah ke petani penerima atau ke siapa, kita tidak tahu,” kata Jamhari dalam seminar nasional yang bertajuk Mengkaji Ulang Kebijakan Subsidi Pupuk, Senin (18/7) di ruang seminar University Club UGM.
Dari hasil kajian tim pertanian UGM, kata Jamhari, dari sampel 100 ribu kartu tani sebagai penerima pupuk bersubsidi ternyata hanya 37 ribu yang melakukan transaksi. “Transaksi dari kartu tani saja persentasenya kecil sekali,” kata Mantan Dekan Pertanian UGM ini.
Menurutnya petani yang seharusnya sebagai penerima manfaat dan oleh negara melalui besaran anggaran subsidi yang dikucurkan. Apalagi setiap tahun negara mengalokasikan sekitar Rp26 triliun untuk pupuk. Namun begitu, menghentikan subsidi pupuk begitu saja bukanlah jalan keluar yang bijaksana karena petani sudah berpuluh tahun dibuat tergantung kepada pupuk pabrikan dan menikmati harga murah sehingga akan keberatan jika tiba-tiba harus membeli pupuk yang non subsidi karena harganya lebih dari dua kali lipat harga pupuk bersubsidi. “Diperlukan perbaikan kebijakan penyaluran pupuk bersubsidi sebenarnya juga sudah dilakukan tetapi tidak menyelesaikan masalah utamanya. Salah satunya dalam pengusulan dan penyaluran pupuk bersubsidi menggunakan E-RDKK dan kartu tani. Masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan mendasar mengapa tetap saja terjadi ketimpangan pengusulan dan kebijakan antar wilayah. Selalu saja adanya kekurangan alokasi pupuk bersubsidi,” katanya.
Fakultas Pertanian UGM merekomendasikan adanya perbaikan kebijakan subsidi pupuk terutama bagi pemerintah karena urgensinya untuk perbaikan perencanaan anggaran subsidi yang besar dan bagi para pihak dalam kaitannya dengan perbaikan teknis penyaluran pupuk bersubsidi.
Di tengah persoalan krisis pangan global sekarang ini, menurut Jamhari, pemerintah juga melakukan langkah yang tepat untuk memberikan perhatian yang lebih besar bagi pengembangan pertanian dalam meningkatkan produksi pangan. Bukan hanya soal pupuk namun juga dari penambahan luasan lahan. “Variabel luas lahan, produksi padi misalnya perlu perluasan lahan. Yang paling cepat itu lahan. Selain itu pupuk juga memberikan kontribusi produksi 0,2 ton per hektare per tahun,” katanya.
Disamping itu, terdapat adanya dualisme pasar soal harga eceran tertinggi dan harga non subsidi, adanya penggunaan pupuk berlebih, kondisi industri pupuk tidak berkembang secara optimal.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Jawapos