Sunrise Land Lombok di Nusa Tenggara Barat menjadi destinasi wisata baru di Indonesia timur. Destinasi wisata milik Pemerintah Daerah NTB ini menawarkan pesona alam.
Pengelolaan wisata oleh Dinas Pariwisata bekerja sama dengan anak-anak muda Dusun Montong Meyong, Desa Labuhan Haji, NTB. Dengan luasan mencapai sekitar 7 hektare, destinasi wisata Sunrise Land Lombok dikelola 36 pekerja dengan status pekerja tetap, pekerja lepas dan musiman.
Beroperasi hampir 2 bulan, Sunrise Land Lombok mengundang perhatian wisatawan. Sebanyak 17 media telah meliput keberadaan Sunrise Land Lombok, diantaranya MNC Tv, iNews, TVRI, Lombok Tivi dan beberapa media cetak lainnya.
Keberadaan SLL ini memberikan keuntungan secara ekonomi pada masyarakat sekitar. Seperti nelayan, selain menangkap ikan mereka pun kini memiliki pekerjaan tambahan berjualan kayu bakar untuk keperluan wisatawan yang berkemah.
Setelah dikelola secara profesional oleh pemuda-pemuda Motong Meyong, destinasi wisata SLL memberi harapan untuk terus berkembang. Bahkan, dalam suatu pengamatan malam hari di lokasi wisata ini pernah ditemukan 5 indukan penyu naik ke pinggir pantai bertelur.
Fenomena ini tentu menghadirkan daya tarik baru untuk berwisata di SLL. Apalagi jika nantinya dikelola dengan serius, wisatawan tentu datang tidak hanya untuk melihat Sunrise Land Lombok, namun sekaligus bisa melihat penyu dan menjadikan SLL sebagai tempat pendidikan.
Melihat perkembangan tersebut, Kagama Pariwisata tergerak untuk menggelar webinar. Webinar untuk memberi masukan pada Sunrise Land Lombok ini mengangkat topik Konservasi Sumber Daya Alam Melalui Pariwisata di Sunrise Land Lombok.
Donan Satria Yudha, M.Sc, Kepala Laboratorium Sistematika Hewan Fakultas Biologi UGM sebagai salah satu narasumber diskusi, memberikan masukan berdasar pengalamannya saat melakukan konservasi penyu di pantai selatan Jawa. Bersama komunitas Kagama Pariwisata, ia berharap bisa memberikan pendampingan konservasi penyu di destinasi wisata Sunrise Land Lombok.
“Ada pengalaman yang mungkin bisa saya berikan saat membantu BKSDA Jogja melakukan studi dan monitoring penyu di pantai selatan Yogyakarta sejak tahun 2012 lalu,” katanya, Selasa (19/7).
Ia menyampaikan ada 6 jenis penyu yang sering dijumpai di Indonesia. Keenam penyu tersebut penyu hijau, penyu lekang, penyu sisik, penyu belimbing, penyu tempayan, penyu pipih.
Beberapa penyu ini dalam pengamatan ada yang terancam punah, rentan punah dan kritis. Meski begitu, ada beberapa yang tidak mengkhawatirkan, tapi ada penyu yang kekurangan data.
Ia menjelaskan semua jenis penyu yang berada dan dijumpai di perairan Indonesia dilindungi oleh undang-undang dengan berbagai aturan turunannya. Beberapa peraturan tersebut UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan : Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2028 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi.
“Berdasarkan UU tersebut diatas disimpulkan bahwa pemerintah yang mengelola penyu dan habitatnya. Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk pengelolaannya sehingga jika masyarakat berinisiatif ingin mengelola perlu mengajukan izin ke Dirjen LHK melalui BKSDA setempat,” katanya.
Donan menandaskan jika sudah resmi mendapatkan izin dari pemerintah (Dirjen LHK) maka pengelolaan (perawatan dan pemeliharaan) penyu, telur dan tukiknya tidak dapat dilakukan sendiri (Satu instansi/ orang) saja. Pengelolaan mengharuskan adanya kolaborasi atau melibatkan banyak orang atau institusi.
Bisa dengan peneliti dan akademisi sebagai tinjauan dari sisi ilmiah tentang perilaku dan habitat penyu. Praktisi dokter hewan, pengelola ekowisata, pihak institusi pemerintah yang berwenang, nelayan dan penduduk sekitar pantai masyarakat atau LSM peduli penyu.
Fakhrul Hady, BKSDA NTB, menambahkan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) adalah kawasan di luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam dan Taman Burung yang secara ekologis penting bagi keanekaragaman hayati. KEE penyu di Kabupaten Lombok Utara memiliki banyak tantangan.
Sebelum tahun 2018 banyak terjadi perdagangan dan perburuan telur dan penyu. Lantas di tahun 2018 muncul kelompok-kelompok yang peduli dengan memulai menetaskan telur-telur penyu dan sampai tahun 2019 berhasil merelease 10 ribu tukik.
“Ini kepedulian yang luar biasa karena beberapa kelompok sadar menetaskan telur-telur penyu dengan biaya sendiri,” ucapnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto: Lombok Post