Kurun waktu 13 tahun (2009-2022) dalam pelaksanaan Undang-Undang Kepariwisataan (UU 10/2009) telah banyak terjadi perubahan internal dan ekosistem kepariwisataan. Sejumlah perubahan berlangsung tanpa diprediksi sebelumnya. Perubahan yang hampir radikal ini tentunya perlu direspons oleh suatu regulasi yang akomodatif.
Berhadapan dengan situasi baru itu maka perlu dilakukan revisi Undang-Undang Kepariwisataan. Produk UU harus mampu menyesuaikan diri sekaligus memprediksi perubahan yang berlangsung demikian cepat sehingga pembangunan pariwisata dapat berjalan efektif.
Ketajaman materi RUU, konsistensi substansi dan objek yang diatur, dan keutuhan cakupan adalah beberapa isu strategis yang perlu mendapat perhatian dari berbagai pemangku kepentingan. Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM pada tahun 2021 telah berhasil mengidentifikasi daftar isian masalah (DIM) dalam pelaksanaan UU 10/2009.
Beberapa isu yang menguat di antaranya adalah: aspek kepariwisataan, lingkungan, ekonomi, perencanaan wilayah, arsitektur, kelembagaan, sumber daya manusia, teknologi informasi, dan hukum. Terkait dengan hal itu, pemerintah berencana menerbitkan Revisi UU Kepariwisataan.
Meski begitu, seperti apa anatomi materi rancangan tersebut, publik belum mendapat gambaran yang utuh. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk menghimpun pemikiran para perwakilan pemerintah maupun lembaga DPR dan akademisi tentang muatan-muatan penting RUU tersebut dalam sebuah Seminar Series Kepariwisataan bertema “Urgensi Penyempurnaan UU Kepariwisataan”.
Seminar yang diselenggarakan Pusat Studi Pariwisata UGM menghadirkan tiga pembicara dengan dipandu moderator Dr. Destha T. Raharjana, S.Sos., M.Si. Adapun ketiga pembicara tersebut adalah Dr. Sabartua Tampubolon, S.H., M.H., Direktur Regulasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Deputi Bidang Kebijakan Strategis yang mengupas persoalan “Evaluasi Pelaksanaan UU Kepariwisataan”, Dian Agung Wicaksono, S.H., LL.M., Tenaga Ahli Hukum Pusat Studi Pariwisata UGM yang mengupas topik “Usulan Penyempurnaan UU Kepariwisataan”dan Dr. Inosentius Samsul,S.H.,M.Hum, Kepala Badan Keahlian DPR RI yang menyampaikan permasalah terkait ”Perkembangan Penyusunan Naskah Akademik dan RUU Kepariwisataan”.
Sabartua Tampubolon mengungkapkan 13 tahun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan telah dijalankan dan memberikan arahan tentang ke mana pariwisata Indonesia harus bergerak. Secara langsung atau tidak, menurutnya, regulasi tersebut telah memberikan kontribusi signifikan pada perkembangan kepariwisataan nasional, baik dalam konteks pembentukan Rencana Induk Pengembangan kepariwisataan di berbagai provinsi, kabupaten, dan kota maupun pada kegiatan pembangunan destinasi, industri, pemasaran, dan sumber daya manusia.
Dia menyampaikan lahirnya UU Cipta Kerja telah merubah beberapa substansi pasal yang ada di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Bahkan beberapa substansi tidak hanya dirubah tapi dihapus.
Sebagai contoh pada Pasal 14 ayat (2) UU No 10/ 2009 soal Usaha Pariwisata diatur dengan Peraturan Menteri dirubah menjadi Usaha Pariwisata yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 56 yang berbunyi Tenaga kerja ahli warga negara asing dihapus menjadi mengembalikan pengaturannya mengikuti sinkronisasi dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan beberapa pasal lain.
Sabartua mengungkapkan beberapa Peraturan Menteri Parekraf sebagai turunan UU Cipta Kerja diantaranya Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 4 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha pada Penyelenggaraan Perizinan berusaha Berbasis Risiko Sektor Pariwisata. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 7 Tahun 2021 tentang Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Ekonomi Kreatif.
“Ada juga Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 8 Tahun 2021 tentang Sanksi Administratif Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor pariwisata dan Ekonomi Kreatif,” katanya, Selasa (26/7).
Hal sama disampaikan Dian Agung Wicaksana mengenai pasca berlakunya UU 11/ 2020 tentang Cipta Kerja. Pasca berlakunya undang-undang tersebut beberapa materi muatan UU 10/2009 telah diubah.
Perubahan UU 10/2009, disebutnya, juga telah masuk Prolegnas 2020-2024. Hal tersebut diusulkan oleh Komisi X DPR RI sebagai Prolegnas Prioritas Tahun 2022. Bahkan BK DPR RI telah diminta untuk menyiapkan NA dan RUU terkait Perubahan UU Kepariwisataan.
Ia menjelaskan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU 10/2009) mengamanatkan bahwa Kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Sejarah telah mencatat sektor Pariwisata telah menunjukkan kinerja yang sangat baik, namun di masa mendatang banyak hal-hal yang harus diantisipasi seiring dengan perkembangan zaman.
Oleh karena itu, diperlukan perbaikan terhadap UU 10/2009, untuk melengkapi hal-hal yang belum diatur. Beberapa hal yang kurang relevan dan respons terhadap dinamika perubahan yang terjadi di masyarakat.
Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan menyangkut upaya perbaikan mendasar adalah persoalan pariwisata, lingkungan, sosial budaya, sumber daya manusia dan ekonomi. Juga soal hukum, teknologi informasi, arsitektur, perencanaan wilayah, dan kelembagaan.
Terkait soal pariwisata misalnya, kata Dian Agung, belum adanya pengaturan dalam UU 10/2009 yang mengakomodasi konsep wisata bahari (archipelago tourism). Belum adanya pengaturan mengenai pembangunan budaya pariwisata masyarakat.
Demikian dalam hal perencanaan wilayah, belum adanya pengaturan yang tegas dalam UU 10/2009 mengenai hierarki perencanaan antara perencanaan ruang dan perencanaan kepariwisataan. Minimnya pengaturan dalam UU 10/2009 mengenai kedudukan hukum RIPPAR sebagai dokumen perencanaan.
“Juga belum adanya pengaturan tentang mitigasi bencana di destinasi wisata dalam UU 10/2009, dan permasalahan-permasalahan mendasar lainnya yang perlu diperbaiki,” ungkap Dian.
Inosentius Samsul mengakui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, masuk dalam Prolegnas Jangka Menengah Tahun 2020 – 2024 dengan nomor 162. Urgensi RUU tentang Kepariwisataan, menurutnya, perlu karena beberapa faktor diantara menyangkut pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia di tahun 2020 lalu, dan berpengaruh terhadap jumlah wisatawan, tingkat okupansi, dan penurunan potensi penyerapan tenaga kerja pariwisata.
Belum lagi soal ketidakjelasan hubungan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan pariwisata serta kendala pendanaan kelembagaan baik di tingkat pusat maupun daerah. Juga diundangkannya UU tentang Cipta Kerja yang mengubah beberapa ketentuan dalam UU tentang Kepariwisataan.
“Demikian juga menyangkut perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi, seperti pemanfaatan aplikasi berbasis digital dalam mempromosikan objek wisata dan mengembangkan industri pariwisata. Perlu kiranya mengembangkan jenis pariwisata, seperti wisata religi, wisata olahraga, dan wisata kesehatan,” terangnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Merdeka.com