Tranformasi digital atau perubahan dalam lini kehidupan masyarakat kearah penerapan teknologi dapat berdampak positif. Seperti halnya kepada pelestarian lingkungan hidup, transformasi teknologi digital dapat mendorong penurusan emisi karbon.
Lalu dalam bidang ekonomi, pertama, penerapan teknologi digital dapat menghasilkan efisiensi dalam produksi. Kedua, konektivitas yang disediakan teknologi internet dapat meningkatkan inklusifitas, memperluas wilayah perdagangan, menciptakan tenaga kerja, dan lain-lain. Serta ketiga, transformasi digital dapat mendorong bentuk ekonomi baru.
Namun dibalik masa depan “cerah” yang diperkirakan tersebut, ternyata transformasi digital turut menyertakan beberapa ancaman. Peneliti Institute of International Studies (IIS) FISIPOL UGM, Nabilah Nur Abiyanti, mengungkapkan terdapat ancaman ketimpangan dalam tata kelola dunia digital. Sebab, secara kondisi, infrastruktur di negara maju lebih jauh siap menopang transformasi digital dibanding negara-negara berkembang seperti Indonesia.
“Tata kelola (dunia digital) cenderung timpang sebelah karena negara-negara maju telah didukung infrastruktur yang menopang dunia digital (tersebut),” tutur Nabilah dalam webinar ‘Transformasi Digital Global dalam Agenda G20: Menuju Pembangunan Ekonomi Digital yang Inklusif dan Berkelanjutan’ yang diselenggarakan oleh Institute of International Studies (IIS) FISIPOL UGM pada Jumat, (29/7).
Oleh karena ketimpangan infrastruktur tersebut, diperkirakan ketika negara-negara maju tengah bersemangat memproduksi berbagai macam produk, desain, karya, dan lain sebagainya, dengan memanfaatkan teknologi digital, negara berkembang pada waktu yang sama hanya dapat mengonsumsi atau lebih kurang jadi target pasar bagi negara maju bekala.
Kondisi ketergantungan tersebut dapat berdampak jangka panjang terhadap pembangunan negara-negara berkembang. Kondisi ketergantungan itu selanjutnya turut dapat menghambat pengembangan teknologi domestik di negara-negara berkembang.
Pemerintah Percaya Diri
Isu ketimpangan di atas sudah menjadi topik yang hendak dibahas dalam forum internasional. Pemerintah RI sebagai negara yang memegang presidensi G20 tahun 2022 tampak percaya diri dalam mencegah ketimpangan digital tersebut dengan membawa isu tersebut kedalam forum.
Melalui Direktur Ekonomi Digital Ditjen Aptika KOMINFO RI, Dr. Ir. I Nyoman Adhiarna, M.Eng, isu ketimpangan digital atau digital balance merupakan salah satu isu yang telah banyak diketahui dan dipahami oleh negara-negara anggota G20.
“Konektivitas dan post-Covid recovery, (kemudian) digital balance dan literasi, kedua isu itu mudah diresap oleh (negara-negara) anggota G20,” tutur I Nyoman Adhiarna dalam video presentasi yang disampaikan dalam webinar yang sama.
Sebaliknya, I Nyoman Adhiarna mengungkapkan bahwa dalam G20 nanti, isu yang paling sulit untuk dibahas adalah isu terkait crossborder data flow & data free flow with trust. Sebab, setiap negara punya cara sendiri-sendiri dalam pengendalian datanya. Di Amerika saja misalnya, data dikendalikan oleh korporasi, sedang di Cina dikendalikan oleh negara.
Penulis: Aji