Beberapa literatur yang berkaitan dengan domain administrasi pertanahan di tahun 2000-an menyatakan bahwa kadaster merupakan motor penggerak beroperasinya sistem administrasi pertanahan yang mengintegrasikan fungsi-fungsi penguasaan dan pemilikan tanah (land tenure), penilaian tanah (land value), penggunaan tanah (land use), serta pengembangan tanah (land development). Meski demikian, sejak masa kolonial Belanda, setelah 200 tahun dibangun, sistem kadaster di Indonesia masih belum lengkap, dan ketidaklengkapan seperti yang dialami oleh Indonesia ini menciptakan hambatan yang signifikan bagi pembangunan administrasi pertanahan modern.
Demikian dikatakan Dwi Budi Martono, ST., M.T., Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi DKI Jakarta, saat melaksanakan Ujian Terbuka Program Doktor Teknik Geomatika, Fakultas Teknik UGM, di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis (4/8). Mempertahankan disertasi Tipologi Kadaster untuk Membangun Kadaster Lengkap, ia menyebutkan hingga saat ini, belum terdapat indikator yang menggambarkan tingkat kepatuhan suatu peta bidang tanah terhadap elemen kadaster yang ditetapkan dalam regulasi penetapan batas. Peta bidang tanah adalah hasil pemetaan 1 (satu) bidang tanah atau lebih ke dalam peta pendaftaran (peta kadaster) yang batas-batasnya telah ditetapkan oleh petugas yang berwenang (PMNA 3/1997).
Mengacu pengertian kadaster dari FIG tahun 1995, kata Budi Martono, kadaster lengkap didefinisikan sebagai informasi spasial berbasis bidang tanah yang berisi mengenai hak atas tanah (rights), batasan (restrictions) dan tanggung jawab (responsibilities), atau sering disebut dengan singkatan RRR, yang melekat di atas bidang tanah tersebut. Kadaster lengkap memiliki komponen berupa peta kadaster yang terhubung dengan catatan data yuridis, sering juga termasuk nilai tanah dan peruntukannya.
“Dalam konteks kadaster lengkap, penelitian ini hanya berfokus pada informasi mengenai hak (rights) dalam kegiatan pendaftaran tanah,” paparnya.
Dalam ujiannya, ia juga menyampaikan pendaftaran tanah sistematis bertujuan untuk mendaftarkan semua bidang tanah di Indonesia pada tahun 2025. Meski begitu, standar teknis penetapan batas, prinsip, regulasi, dan praktik pelaksanaannya masih menjadi tantangan.
Karenanya penelitian ini mengungkapkan partisipasi pemilik tanah yang berhak dan keaktifan pemerintah daerah melalui perangkat desa setempat dalam penetapan batas merupakan faktor penentu dari elemen legal kadaster. Ketidakhadiraan pemilik tanah dan keaktifan perangkat desa yang kurang menyebabkan pemenuhan elemen legal tidak terpenuhi, yaitu penunjukan batas, kesepakatan batas dan pemasangan tanda batas.
“Berdasarkan hasil penelitian, faktor penentu elemen spasial adalah ketersediaan peta dasar pendaftaran yang memenuhi persyaratan. Di samping itu, kompetensi surveyor dalam melaksanakan pengukuran dengan metode terestrial untuk pemenuhan standar teknis penetapan batas juga menjadi tantangan tersendiri,” tuturnya.
Hasil penelitian dalam disertasi diharapkan mampu menggambarkan sistem kadaster yang berlaku di Indonesia serta menganalisis mengapa sampai sekarang kadaster di Indonesia belum lengkap sehingga administrasi pertanahan tidak terintegrasi dan menyulitkan pemerintah serta masyarakat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Diharapkan pula mampu menunjukkan enam elemen kadaster dalam regulasi penetapan batas bidang tanah, menyusun tipologi kadaster sebagai metadata kadaster setiap peta bidang tanah. Tipologi kadaster menunjukkan setiap elemen yang harus ditingkatkan kualitasnya untuk memenuhi standar teknis yang berlaku.
Penulis : Agung Nugroho